Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Gigih Gesang|42472|KALBAR 2|38

Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Kamis, 03 Mar 2011 10:40 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Museum Kapuas Raya Tampak Depan
Ruang Sejarah Sintang
Ruang Kebudayaan Sintang
Ruang Tenun Ikat
Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya
Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya
Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya
Tersihir Pesona Museum Kapuas Raya
Jakarta -

Setelah terbang selama lebih kurang satu jam dari kota Pontianak, akhirnya saya tiba di bandara Susilo Kabupaten Sintang. Inilah kali pertama saya menginjak tanah sebuah tempat yang bahkan mendengar namanya saja saya belum pernah. Saya tergolong sebagai manusia dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi, sehingga tanpa sadar saya langsung berpikir mengenai tempat ini. Dimanakah letaknya dalam peta, bagaimana kehidupan masyarakatnya, dan bagaimana asal usul berdirinya adalah contoh dari pertanyaan yang otomatis terlintas dalam benak saya. Tak pelak berbagai pertanyaan ini mendominasi perbincangan awal saya dengan pendamping perjalanan sebagai pengganti obrolan perkenalan.

Tidak penting siapa yang sedang berbicara dengan saya sekarang, hal itu masih bisa ditanyakan selama 13 hari ke depan. Saya hanya berada dua hari di Sintang, jadi pertanyaan-pertanyaan barusan lebih mendesak untuk diajukan. Merasa tak mampu mengimbangi dalam tanya jawab dan berbagi informasi, pendamping saya hanya mampu berjanji. Segala rasa ingin tahu saya akan terpuaskan saat mendatangi Museum Kapuas Raya.

Awalnya saya ragu. Pengalaman saya mengunjungi museum cukup banyak, sayangnya selalu berakhir dengan kesan yang tidak enak. Tempat yang tidak terawat, tidak adanya sumber informasi, dan kurang lengkapnya koleksi adalah hal yang selalu saya temui. Lalu apa yang bisa saya harapkan dari tempat seperti ini? Dengan keraguan yang sama, saya mengunjungi Museum Kapuas Raya. Saat memasuki pelataran parkir museum, saya makin merasa bahwa saya akan merasakan kekecewaan yang sama. Tapi ternyata perkiraan saya kali ini salah. Meskipun terletak agak jauh dari pusat kota, Museum yang terletak tepat di pinggir jalan raya Sintang-Putussibau Km 14 pantas untuk saya beri nilai A. Hanya dengan berkunjung ke museum yang berdiri sejak tahun 2008 ini, saya langsung merasa bahwa saya adalah orang Sintang asli. Silahkan ajukan pertanyaan mengenai kota Sintang, saya pasti akan memberi jawaban yang cukup memuaskan.

Nama kota ini berasal dari kata Senentang yang berarti tempat di mana dua sungai bersatu. Nama ini diberikan oleh Jubair berdasarkan letak geografis kota ini yang berada di tempat bertemunya dua sungai besar yaitu sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Jubair adalah anak dari Aji Melayu seorang pedagang Hindu dari tanah Jawa yang mendirikan kota ini setelah menikah dengan anak kepala adat suku Dayak yang bernama Putri Junjung Buih. Singkat cerita, mereka beranak pinak dan mengembangkan kota Sintang hingga menjadi kota pelabuhan yang cukup diperhitungkan. Semua cerita ini saya dapatkan dari Ruang Sejarah, salah satu dari tiga ruang pameran utama museum yang didirikan atas kerjasama pemerintah Sintang dengan KIT Tropenmuseum Amsterdam Belanda.

Sejujurnya saya enggan untuk beranjak dari ruangan yang suhu, kelembapan dan pencahayaannya diatur sedemikian rupa agar koleksinya tetap awet terjaga. Tapi bujukan ramah dari petugas museum yang berkata bahwa kami akan melihat koleksi yang lebih menarik lainnya membuat saya tergoda. Ternyata godaannya bukan hanya sekedar lips service belaka, dalam ruang pameran kedua terdapat koleksi mengenai bagaimana masyarakat menjalankan adat dan kebudayaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari ruang yang bernama ruang kebudayaan ini saya mengetahui bahwa ada tiga etnis besar yang hidup bersama di dalam kota yaitu Dayak, Melayu dan Tionghoa. Tidak hanya memiliki adat dan budaya yang berbeda, agama yang dianut masing-masing suku pun berbeda juga. Suku Dayak beragama kristen, Melayu menganut islam, dan Tionghoa mengikuti ajaran Budha. Hebatnya, hingga saat ini belum pernah ada perseteruan antar etnis yang terjadi antara mereka. Mereka mampu hidup dengan rukun, danami dan sentosa. Bahkan perbedaan ini makin memperkaya kebudayaan masyarakat yang ada. Saya merasa kita sebagai bangsa perlu belajar dari mereka untuk mampu menghargai setiap perbedaan yang ada di antara kita.

Pengertian dan pemahaman akan perbedaan dan keberagaman merupakan kunci terciptanya kedamaian dan kerukunan. Tapi sebelum pengertian dan pemahaman tercipta, hal yang terlebih dahulu perlu untuk diketahui bersama adalah bahwa perbedaan itu memang ada. Setelah tahu bahwa kita memang berbeda, toleransi terhadap perbedaan niscaya pasti akan ada. Hal inilah yang coba untuk diraih oleh Museum yang memang mengangkat tema kebudayaan tiga etnis besar yang ada di Sintang. Museum yang didirikan di atas lahan seluas 20.000 meter persegi ini memang memiliki tujuan untuk memperkokoh persatuan dan kekerabatan antar etnis dan golongan.

Dengan memperkenalkan sejarah dan kebudayaan yang ada kepada generasi muda, mereka berharap kebersamaan yang sudah terjalin erat dapat semakin kuat. Saya yakin bila kondisi museum tetap dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, cita-cita mulia ini dapat terwujudkan.Jujur, saya merasa puas mengunjungi museum ini. Segala pertanyaan yang tadi ada dalam benak saya terjawab sudah.

Satu kata yang tepat menggambarkan saya adalah terpesona. Seandainya di setiap kota terdapat museum yang memiliki kualitas dan cita-cita yang sama, niscaya Indonesia pasti akan damai dan sejahtera. Kunjungan saya akhiri dengan ucapan terima kasih yang mendalam kepada pengurus museum yang telah merawat museum ini hingga bisa seperti ini. Yang paling tidak mungkin saya lupa adalah senyum bangga yang terkembang dari wajah pendamping perjalanan saya. Senyum itu seakan berkata, 'benar kan apa kata saya?!'

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads