Hingga suatu hari, secara tidak sengaja saya berbincang dengan Siska, teman kuliah yang ternyata terobsesi dengan Karimunjawa juga. Sejak itu kita serius menyusun jadwal dan anggaran, serta sepakat berangkat minggu kedua Agustus. Saya dan Siska mungkin menjadi sebagian kecil mahasiswi yang rajin menengok dosen pembimbing skripsi. Tujuannya satu, agar tugas akhir tersebut cepat disidangkan, segera dinyatakan lulus, dan kemudian berangkat dengan damai ke Karimunjawa.
Dari sebelas orang yang berencana turut dalam misi ini, hanya empat yang benar-benar berangkat. Saya, Siska, Manna, dan Yeye. Wonderwomen yang baru pertama kali traveling tanpa tahu arah. Hhh, semakin berasa saja mission impossible ini. Entah membantu atau tidak, Yeye mengaktifkan GPS di handphone dan Siska membawa atlas kecil milik adiknya yang masih sekolah dasar. Haha.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika bus sudah di depan mata, ternyata sudah banyak orang yang duduk manis di kursi. Oh no, dan saya tidak terlalu suka rencana B, yaitu naik bus jurusan Semarang dan turun di sebuah jalan raya di Trengguli Kudus. Diperkirakan kami akan celingukan di sana pukul tiga pagi. Hiks!
But God bless all great travelers, beberapa wanita mendadak turun dari bus karena salah jurusan. Pas! Empat kursi kosong tersedia untuk kami. Hikmah dari tujuh teman saya yang batal ikut. Hehe, we love you God...
Rasa kantuk membawa kami hingga ke terminal terakhir di Jepara. Waktu itu pukul empat pagi, terminal kecil ini nampak sangat sepi, apalagi kebanyakan penumpang sudah turun di jalan-jalan sebelumnya. Tidak ada angkot, ataupun becak. Hanya kami dan bus Indonesia. Bapak kernet bus sepertinya tidak tega melihat kami yang celingukan tidak jelas. Lelaki gemuk itu menyarankan kami untuk istirahat di musholla yang, menurut saya, serem, gelap, mojok lagi, sembari menunggu subuh.
Tapi untung, uji nyali itu urung kami lakukan setelah mendapati satu becak datang mendekat dan menawarkan jasanya.
Monggo pun, penjenengan sedaya... cekap...
Waw, si Bapak separo baya itu mungkin mantan anggota srimulat! Kami berempat dengan ransel-ransel menggembung disuruh naik dalam satu becaknya! Karena kami berniat liburan, bukan melakukan pembunuhan, akhirnya si Bapak menyerah dan mencarikan satu becak lagi untuk kami tumpangi menuju pelabuhan. Sip!
Lolos dari musholla remang-remang di terminal, nyatanya kami harus sholat subuh di dalam taman Kartini yang bersebelahan dengan pelabuhan. Walau lumayan terang-benderang, musholla kecil ini dikelilingi banyak pepohonan beringin tinggi dan besar yang bikin saya tidak berani untuk sesekali menoleh ke atas. Krik. Krik. Berharap agar matahari cepat bangun dari tidurnya.
Pelabuhan Kartini adalah pelabuhan mini yang hanya memiliki dua jalur jalan, yaitu menuju kapal cepat Kartini atau kapal Ferry Muria. Pagi itu saya cukup dibuat terpana dengan banyaknya bule-bule keren yang seliweran di sini. Kadang memang, turis mancanegara lebih banyak mengetahui informasi tempat-tempat indah di Indonesia daripada warganya sendiri, ya?
Kami sarapan di warung yang lodehnya uenaaakk banget nget!! Murah lagi, hanya lima ribu rupiah dengan segelas teh hangat. Dan saya berjanji saat pulang dari Karimunjawa saya akan makan lodeh lagi di warung ini!!
Loket dibuka pukul setengah delapan. Setelah mendaftarkan nama penumpang, kami mendapatkan lembaran tiket ekonomi tersebut. Per orang dipatok harga 28.500 rupiah saja. And... here we goes, Karimun....
Kenyataannya, antusiasme kami menaiki kapal Muria yang bermotto Bangga Menyatukan Nusantara ini, tidak berlangsung lama. Kapal meninggalkan pelabuhan Kartini pukul 9 tepat, tapi satu-dua jam kemudian, kami dilanda kebosanan tingkat internasional.
Satu jam sebelum kapal berangkat, kami memang sengaja mengonsumsi obat antimuntah, untuk memperlancar perjalanan. Dan sesuai dengan mekanisme kerjanya, kandungan dimenhidrinat dalam obat tersebut sudah mulai gembira ria memblokade sistem saraf pusat, memaksa kami untuk mengantuk, sementara tidur dengan posisi duduk di kursi biru kaku, bukan pilihan yang menyenangkan. Saya malah ngiri dengan penumpang yang tidur di bawah beralaskan koran, karena tidak kebagian kursi. Paling tidak posisi tidurnya normal.
Kadang kami terbangun, mencari alternatif posisi lain, menggeser pantat yang mulai kaku, atau mendengarkan celoteh bapak mantan kapten kapal Muria, yang duduk di sebelah Yeye. Beliau membagi cerita, sambil terus menghisap cerutunya, tentang gugusan pulau-pulau yang kami tunjukkan dari brosur Karimunjawa.
Betapa Karimun sudah mulai kotor, kata si Bapak, karena membludaknya wisatawan, bahkan ada pulau yang biasa digunakan untuk berpesta bule-bule. Di dalam kapal tersebut kami juga bertemu dengan Mas Januar, keponakan Bu Pupek, seorang wanita Bugis yang akan menjadi host kami selama di Karimunjawa.
Sungguh enam jam yang membuat kami mati gaya, betapa Karimun itu jauhnya ngga kira-kira... Sampai saya sempat berhalusinasi melihat lumba-lumba lewat, membuat tiga teman saya terbangun sia-sia...
Jika Anda memiliki uang lebih, silahkan naik kapal cepat Kartini. Hanya memakan waktu tiga jam dari Jepara. Tidur sebentar, begitu bangun pasti sudah bersandar di Karimunjawa. Tapi, ah, mana seru kalau tidak menghabiskan enam jam di laut. Hahaa... Yaa begitulah isi hati traveler kere macam kami...
Pukul tiga sore kapal mulai merapat di pelabuhan karimun jawa. Antusiasme kami mulai datang lagi merayap. Dari pelabuhan ini, kami masih harus menempuh setengah jam perjalanan untuk sampai ke Pulau Kemujan. Dan ini merupakan pengalaman pertama saya naik pickup bersama tumpukan beras. Awalnya kami disarankan Mas Januar duduk di bagian depan saja, tapi males ah, kapan lagi bisa ngerasain sensasi syuting video klip I'm Yours-nya Jason Mraz seperti ini
Awalnya kami memang berencana menginap di Karimunjawa, tapi setelah menghubungi beberapa hotel, ternyata full-booked sampe akhir Agustus, dan tarif per malamnya tidak cocok dengan ketebalan dompet kami yang hanya penuh dengan struk mini-mart itu. Akhirnya, berkat tanya kanan-kiri, seorang teman yang pernah berkunjung ke Kemujan, merekomendasikan rumah tinggal Bu Pupek sebagai tempat menginap.
Pulau Karimun dengan Kemujan hanya terpisah oleh jembatan sepanjang 100 meter. Di Kemujan tinggal beberapa penduduk Suku Bugis, seperti Mas Januar dan Bu Pupek sekeluarga. Suku Bugis memang dikenal sebagai pelaut tangguh dan rata-rata memiliki tempat tinggal berbentuk rumah panggung di pesisir pantai.
Tiba di kediaman tersebut kami berkenalan dan mengobrol dengan seluruh anggota keluarga sembari menyeruput teh hangat. Di depan rumah ini terhampar sebuah pantai yang sepi dan mulai berwarna keemasan karena refleksi sunset. Masih sore sebenarnya untuk tidur, tapi pukul tujuh malam, kami berempat tergelepar tak berdaya. Capek campur senang, tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di tempat sejauh ini dengan selamat.
Pagi menjelang, wanita yang juga berprofesi sebagai petani rumput laut ini membuatkan roti hangat super nikmat untuk kami santap. Yap. Hari itu kami akan memulai islands hopping di sekitar Kemujan ditemani oleh Pak Mis dan Pak Pren penduduk setempat yang hobi becanda jayus.
Awalnya, saya mengira hanya kami berenam yang berangkat. Namun, sesaat sebelum kapal kecil itu berangkat, muncul sesosok pria yang rambutnya mirip Sujiwo Tejo. Agak ngeri awalnya, namun setelah berkenalan dengan Mas Ambon, lelaki tersebut sangat ramah dan murah senyum. Gayanya memang slengekan, mengingatkan saya pada sosok Jack Sparrow. Ternyata Mas Ambon diutus oleh Bu Pupek memandu kami. Wah, beruntung rasanya! Apalagi pria gondrong ini memiliki banyak pengetahuan tentang biota laut. Satu lagi yang penting! Dia membawa sebuah kamera underwater yang boleh kami pinjam sesuka hati!!! Yeaaaahh!
Islands hopping dimulai dengan menyusuri ladang rumput laut yang membentang luas. Pak Mis sangat terlatih menghindari untaian rumput laut agar kapal tidak menabrak dan merusaknya. Kata Mas Ambon, usaha rumput laut ini baru 3 tahun berjalan, sebenarnya tidak terlalu menguntungkan yang penting cukup buat sehari-hari. Heran juga, padahal katanya rata-rata 2 ton rumput laut yang ditanam bisa menghasilkan 7 ton pada panen hari ke-45, atau mungkin karena harga jualnya rendah ya...
15 menit berlayar ombak mulai heboh menggoyang kapal kecil ini. Yeye langsung heboh juga memakai pelampungnya. Mas Ambon bilang perairan di sana malah tenang pada musim peralihan yaitu Oktober-November. Tapi tiap tanggal 17 Agustus ombak selalu meninggi seakan ikut merayakan hiruk pikuk ultah RI. So, kita datang pada saat yang tepat! Haha... banyak doa aja deh...
Dan setelah hampir satu jam berlayar, kami sampai di Pulau Tengah. Ini adalah pengalaman pertama kali kami melakukan snorkeling! Seruuuuu... tidak perlu berenang terlalu jauh tapi kami sudah bisa menemukan koral-koral cantik di dasar laut! Jangan harap bisa dibawa pulang ya, meskipun untuk koral yang sudah mati dan tergeletak di pasir pantai. Di sini kita harus patuh hukum take nothing but picture demi menjaga kelestarian koral yang ada.
Tidak ada water sport di pulau ini, tapi kalau memang pingin jet ski dan kawan-kawannya, Anda bisa mengunjungi Pulau Menyakan. Pulau tersebut memiliki fasilitas lengkap, dan karena yang punya pulau itu bule, jadi mau ngapa-ngapain ya sudah pasti mahal, dollar-minded.
Ada yang luput dari anggaran kita, ternyata di tiap pulau berlaku hukum sandar-bayar. Lumayan, parkir 1 kapal sama dengan parkir 30 motor di Tunjungan Plaza. Untungnya kami hanya berencana mampir di dua pulau, kalau lebih dari itu, bisa-bisa bangkrut di parkiran sebelum pulang!
Pulau kedua merupakan pulau yang lebih saya sukai. Namanya Pulau Cilik, kondisi sesuai namanya, jalan-jalan mengitari pulau ini tidak sampai satu jam. Pulaunya sangat bersih, pasirnya putih dan empuk, warna terumbunya benar-benar terlihat jelas saking beningnya air laut. Berasa main film Cast Away...
Beberapa saat setelah meninggalkan pulau cilik, kapal kayu ini dihentikan di tengah laut untuk memancing sejenak. Namun, digoyang ombak yang lumayan tinggi, membuat saya dan Siska mual mendadak! Apalagi di pulau cilik tadi kami sempat makan kelapa muda sampai kembung hasil panjatan Pak Pren. Padahal Siska suka banget mancing, tapi mual-muntah mengalihkan dunianya sebagai fisherwoman, dan saya ngiri liat Mas Ambon asik tiduran di ujung kapal, tidak bereaksi apa-apa walaupun kapalnya meleyat meleyot seperti siap ngguling, sementara Pak Pren dan Pak Mis masih sibuk mencari ikan... Ah, ini yang bikin saya tidak pernah beli takjil es kelapa pada Puasa Ramadhan kali ini, selalu teringat sensasi mual di atas kapal!
Tempat ketiga yang kita tuju adalah Resort Indonoor... Berada di resort apung sederhana milik keluarga Bu Pupek ini, membangkitkan kembali hasrat snorkeling kami lagi! Hooo.. tidak sampe semeter snorkeling, kami sudah bisa menemukan rombongan Nemo celingukan di antara anemon laut... Dan ketika matahari sudah hampir terbenam, kulit sudah beautifully-gosong, artinya kami harus segera kembali ke Kemujan dengan membawa perasaan puas yang luar biasa.
Hari ketiga, 17 agustus 2009, time to say goodbye, kami siap naik kapal Muria lagi. Hampir ketinggalan kapal sebenarnya, karena saking gembira bisa nyampai Karimun, kami lupa mengecek jadwal keberangkatan kapal! Haha... Sampai di loket juga hampir kehabisan tiket... saya langsung pasang tampang memelas pada Pak Petugas, dan kami berlarian layaknya selebriti dikejar paparazzi ke dalam kapal begitu dapat tiket. Sampai lupa bilang terima kasih pada Mas Aris, driver pickupnya. Huhuhu...
Dan kursi-kursi penumpang sudah laku smua, terpaksa kami ke dek paling atas, dek tanpa atap... Impian saya buat tidur dengan posisi normal tercapai sudah, pindang-pindangan bersama penumpang bule-bule. Dan enam jam terpapar matahari langsung, telah sukses membuat wajah kami makin eksotis... hyahaha...
Karena ini 17 Agustus, pukul 10 tepat, penumpang diajak mengheningkan cipta sejenak mengenang jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan dan bel kapalpun berbunyi keras di tengah laut... Merinding... Selamat hari lahir, Indonesia...
Oke, harus saya akui traveling itu addictive! Meet someone new and feel something new... Alhamdulillah, terima kasih telah menjaga empat gadis ini selama empat hari itu hingga selamat sampai rumah kembali. Indonesia memang dahsyat cantiknya!
(travel/travel)












































Komentar Terbanyak
Koster: Wisatawan Domestik ke Bali Turun gegara Penerbangan Sedikit
Ditonjok Preman Pantai Santolo, Emak-emak di Garut Babak Belur
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina