Wisata ke Peru nyaris selalu identik dengan Machu Picchu. Namun kali ini kisah yang akan disajikan adalah tentang Aguas Calientes, desa kecil tempat wisatawan singgah sebelum mengunjungi Machu Picchu.
Jam di ponsel menunjukkan pukul 10.13 ketika kereta yang kami tumpangi terasa memperlambat lajunya. Sekitar 30 menit sebelumnya, sebagian penumpang termasuk pasangan sepuh yang duduk di depan kami, telah turun di Stop 104.
Mereka akan menjajal paruh terakhir, berjalan kaki menempuh rute Inca trail sepanjang hampir 10 km menuju situs Machu Picchu. Karena merasa kurang yakin dengan persiapan fisik, kami memilih menuntaskan naik kereta hingga Aguas Calientes. Dari sana kami akan naik bis menuju Machu Picchu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Desa yang dari namanya berarti air panas ini masih senyap saat kereta kami tiba. Kami memang menaiki kereta terpagi dari Ollan Taytambo.
Ketika kami keluar dari stasiun yang resik itu seorang pemuda menyapa. Rupanya wajah Asia kami dan kerudung yang kukenakan memudahkan Manuel mengenali kami. Ia akan mengantar kami menuju ke penginapan.
Dengan agak terengah aku mengikuti langkah panjang Manuel di jalan menanjak desa itu. Beruntung udara pagi itu terasa nyaman. Jalan beton sempit yang kami lalui sesungguhnya berada di tengah perkampungan yang rapat, namun tampil bersih.
Selokan kecil di badan jalan juga terlihat mengalir lancar. Sambil berjalan Manuel menjelaskan peta singkat desa Aguas Calientes. Hotel kami terletak di bagian ujung desa, beberapa puluh langkah dari pemandian air panas yang menjadi asal-usul namanya.
Kini desa ini lebih sering disebut sebagai Machu Picchu Pueblo, atau kota kecil dekat Machu Picchu. Syukurlah prediksi Google map tak meleset, 15 menit kemudian sampailah kami di Plaza Andina, penginapan kami.
Setelah menitipkan ransel kami melanjutkan langkah menuju perhentian bis. Beberapa jembatan terlihat terbentang di atas sungai Urubamba, menghubungkan bagian kiri dan kanan desa.
Air sungai yang mengalir deras mengingatkanku kepada berita banjir besar tahun 2010. Kejadian yang berulang lagi di tahun 2012 menjadikan desa ini terlihat siap. Papan petunjuk evakuasi dan titik berkumpul saat terjadi bencana terpampang di banyak lokasi.
Dengan jumlah penduduk tak sampai 5.000 jiwa, desa ini dikunjungi lebih dari 1.500 orang per hari. Pekerja pembangunan jalan kereta, penjaga situs, dan petugas kebersihan adalah penghuni awal desa ini.
Selanjutnya mulai banyak penginapan dan restoran dibangun. Mungkin karena itu tata desa terasa tak biasa. Area pemukiman penduduk berbaur dengan penginapan, toko, juga restoran.
Untunglah saat ini tersedia Google-map yang membantu mengarahkan. Tanpanya boleh jadi kami akan tersesat di jalan bak labirin itu. Suara keras tetabuhan membangunkan kami. Rupanya kami tertidur cukup lama sepulang dari Machu Picchu.
Hari menjelang sore. Terlihat dari jendela penginapan beberapa kelompok orang memainkan alat musik. Ah, aku baru ingat, di awal Mei ada Cruz Velacuy atau festival salib. Masyarakat menghias salib di gereja dan mengaraknya.
Meski demikian, sejatinya kegiatan ini dimaksudkan untuk menghormati para dewa, sebagai wujud syukur atas berhasilnya panen. Kami bergegas keluar hotel untuk melihat dari dekat.
Lebih dari seratus orang memadati jalan yang sempit, bergerak pelan menuju alun-alun desa. Saat tiba di alun-alun rombongan berhenti. Seseorang maju dan berbicara dalam bahasa yang sama sekali asing buatku. Rupanya itu bahasa Quecha yang biasa digunakan penduduk asli pegunungan Andes.
Tak lama kemudian, gelas-gelas minuman diedarkan. Rupanya acara ini memang ditutup dengan meminum Chicha yang terbuat dari jagung dan nanas.
Dari alun-alun, kami melanjutkan langkah menelusuri desa kecil ini. Setelah keramaian tadi, alih-alih menemukan sisa sampah, kami melihat beberapa penyapu jalan menunaikan tugasnya.
Tak banyak sisa sampah yang harus mereka bersihkan karena memang orang-orang telah terbiasa membuang di tempat yang tersedia. Kami menelusuri jalan-jalan sempit yang ada, hingga ujung desa lokasi pemandian air panas.
Kesan bersih kembali tertangkap di area pemukiman padat yang kami lalui, sama seperti yang siang tadi kami rasakan saat menyambangi situs Machu Picchu. Keesokan harinya kami menjelajah bagian desa yang lain.
Pasar menjadi tujuan kami. Meski beberapa kios terlihat masih tutup saat kami tiba, cukup banyak pedagang yang sudah mulai berjualan. Setiap berjarak beberapa kios terlihat tempat sampah.
Suasana pasar terasa cukup nyaman, tak tercium bau yang mengganggu. Pagi itu belum tampak timbunan sampah di area pengumpulan yang berlokasi di salah satu sudut bangunan. Menilik kondisi yang ada, dugaanku sampah segera diangkut saat pasar tutup di sore hari.
Kami juga sempat mampir ke musium Machu Picchu. Lokasinya agak unik, di ujung desa setelah melewati jembatan ke arah taman kupu-kupu. Bukan tempat yang biasa dilalui orang, kecuali mereka yang memutuskan untuk berjalan kaki sekembalinya dari situs.
Alhasil, sepi pengunjung. Padahal musium itu berisi banyak hal menarik terkait sejarah peradaban Inca dan tentunya Machu Picchu. Sebelum kembali ke penginapan, kami singgah ke rumah makan.
Dari tempat duduk kami di teras, sebagian wajah desa jelas terlihat. Ada ibu penyapu jalan, kotak sampah terpilah, juga baliho berisi info jadwal pengambilan sampah. Mural himbauan 3R untuk mengurangi, memakai kembali dan mendaur ulang juga terpampang. Melihat itu semua, anganku melayang.
Terbayang kondisi berbagai tujuan wisata di bumi tercinta yang seringkali diramaikan tebaran sampah. Rasanya kita perlu belajar banyak dari desa ini.
--
Artikel ini ditulis oleh pembaca detik Travel, Wrenges Widyastuti. Traveler yang hobi berbagi cerita perjalanan, yuk kirim artikel, foto atau snapshot kepada detikTravel di d'Travelers. Link-nya di sini
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan