Lantunan suara azan menggema dari puncak menara masjid yang tinggi menjulang, mengalun indah berirama melafazkan asma-Nya ke penjuru Kota Padang yang baru saja beranjak menuju malam.
Seolah ada satu komando, dari arah yang lain di sudut kota pun menyahut panggilan itu dengan lafaz yang sama namun dengan alunan nada yang berbeda. Riuh rendah bersahut-sahutan suara azan dari puluhan masjid, langgar atau musholla dari segala arah menggema serentak, membangkitkan suasana sakral yang syahdu merasuk menenangkan jiwa.
Terlebih lagi malam itu adalah malam pertama bulan Ramadan 1443 H, sesuai dengan penetapan dan pengumuman dari pemerintah atas hasil sidang isbat sehari sebelumnya.
Kami pun bergegas mempercepat laju kendaraan menuju tengah kota. Mesjid Raya Sumatra Barat yang berlokasi di kelurahan Rimbo Kaluang tepatnya di jalan Khatib Sulaiman, pusat Kota Padang adalah tempat yang dituju.
Bukan tanpa sebab masjid ini dipilih sebagai tempat menunaikan ibadah malam Ramadhan untuk kali pertama. Sebagai "orang luar kota", ada kebanggaan tersendiri untuk hadir di masjid utama di Kota Padang bahkan juga merupakan masjid terbesar dan termegah di propinsi Sumatra Barat.
Tak hanya itu, belum lama berselang Mesjid Raya Sumatara Barat ini bahkan dinobatkan sebagai salah satu dari "7 Masjid Berarsitektur Terbaik di Dunia" oleh Abdullatif Al-Fozan Award (AFAMA), sebuah penghargaan yang diumumkan dari Madinah yang melakukan penilaian desain dari masjid-masjid terbaik di seluruh dunia.
Dalam keterangannya, panitia Abdullatif Al-Fozan Award menyatakan bahwa Mesjid Raya Sumbar dipilih sebagai salah satu pemenang dengan kekuatan desain interiornya dan komposisi eksteriornya, serta elemen arsitektur inovatif yang dipadu dengan karakter arsitektur lokal sehingga menciptakan ikon kota yang sangat khas.
Memang bentuk atap Masjid Raya Sumbar ini secara berani keluar dari pakem bentuk mesjid yang biasanya dipakai, yang selalu memasukkan unsur kubah. Alih-alih menggunakan kubah, Mesjid Raya Sumbar ini malah memasukkan unsur tradisional atap "Gonjong Rumah Gadang" khas masyarakat Minang dalam konsep utama desainnya.
Dengan bentuk atap melengkung meruncing ke 4 sisi itu ternyata juga memiliki makna filosofis lain sebagai wujud penggambaran salah satu peristiwa historis dalam dunia Islam, yaitu peristiwa peletakan kembali batu Hajar Aswad dengan menggunakan sebuah bentangan kain yang masing-masing ujungnya dipegang oleh empat orang perwakilan suku di Kota Makkah.
Hal ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Rasulullah SAW atas pertikaian dari 4 suku Quraisy pada zaman itu, yang merasa paling berhak untuk meletakkan kembali batu Hajar Aswad ke tempatnya semula.
Kini Masjid Raya Sumatra Barat atau dikenal juga sebagai Masjid Mahligai Minang yang merupakan hasil rancangan Rizal Muslimin sebagai pemenang sayembara desain Masjid Raya Sumatera Barat tahun 2007 ini, juga termasuk dalam daftar masjid terbesar di Indonesia dengan luas total lahan 44.300 meter persegi yang konon bisa menampung hingga 2.000 jamaah.
Memasuki gerbang mesjid di sisi selatan, ratusan bahkan mungkin ribuan kendaraan jamaah telah terparkir rapi di halamannya yang luas. Kami segera menepi memarkirkan kendaraan diantara celah yang masih tersisa.
Azan pun telah selesai dikumandangkan. Sayup-sayup dari corong mesjid terdengar pengumuman bahwa untuk ibadah Tarawih kali ini akan langsung dipimpin oleh Buya Mahyeldi, beliau adalah tokoh ulama sekaligus sebagai Gubernur Sumatra Barat, orang nomor satu saat ini di Ranah Minang.
Ah, lengkap sudah rasanya keistimewaan ibadah Tarawih malam pertama Ramadan kami di mesjid nan megah ini. Bergegas kami menuju tempat bersuci untuk segera menunaikan ibadah malam Ramadhan yang penuh berkah. Sebentar lagi iqamah akan berkumandang, dengan pasti kaki dilangkahkan menuju rumah Tuhan. Selamat menunaikan ibadah.
(ddn/ddn)