Cahaya senja mulai menguning, tatkala kami mulai beranjak meluncur bergabung di antara lalu lalang kendaraan di jalanan Kota Padang. Tak seperti sore-sore hari sebelumnya, kepadatan dan keriuhan lalu lintas di sore itu tak seramai biasanya.
Jalanan protokol di pusat kota yang dilalui terlihat lapang dan lancar. Pun begitu juga di kawasan pertokoan dan pusat bisnis yang biasa hiruk-pikuk, sore itu terlihat cukup tenang.
Hari itu adalah hari ke-30 di bulan Syakban, yang artinya berdasarkan perhitungan bulan hijriah pergantian bulan segera terjadi senja itu. Maka seiring dengan tergelincirnya sang surya ke arah barat, bulan Ramadan yang lama dinanti pun segera datang menjelang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dapat dipahami jika suasana kota kali ini terlihat sedikit berbeda. Dalam beberapa hari belakangan kemungkinan sebagian dari para penghuni kota tengah "bermigrasi" untuk sementara keluar kota.
Entah itu pulang kampung sejenak untuk silaturahmi jelang memasuki bulan suci, atau pun juga sekedar jalan-jalan melepas kepenatan dan kejenuhan dari rutinitas kerja. Efek dari pelonggaran PPKM pasca dua tahun lebih terkurung pandemi, cukup terasa dampaknya.
Seiring dengan terus membaiknya situasi dan terus turunnya angka positif kasus infeksi yang terdeteksi, kini tak diberlakukan lagi pelbagai aturan pembatasan aktivitas dan migrasi warga yang ketat. Masyarakat kini terlihat begitu bergairah memasuki bulan puasa.
Maka tempat yang dituju kali ini Masjid Al-Hakim, sebuah masjid megah nan indah, yang tepat berada di bibir pantai Muaro Padang, tak jauh dari Gunung Padang, sebuah bukit kecil yang menjorok ke arah laut yang namanya tak dapat dilepaskan dari hikayat populer 'Siti Nurbaya'.
Di sini kami berniat akan menyaksikan matahari terbenam di garis batas cakrawala lautan Samudera Hindia, yang itu juga berarti bahwa menjadi saksi atas pergantian hari sekaligus pergantian bulan yang menandai masuknya Ramadan.
Dari pelataran masjid yang luas dan lapang, puluhan pengunjung berbaur dengan jamaah yang sama menantikan masuknya waktu Magrib. Mesjid indah yang dibalut oleh dominasi warna putih, dengan empat tiang menara yang menjulang tinggi tampak begitu sakral dan magis, menghadap ke lautan luas di depan yang ombaknya berlarian kejar mengejar seiring dengan tiupan angin ke daratan.
Cahaya matahari pun terlihat semakin memerah. Detik demi detik sosok sentral tata surya itu pun semakin terlihat tergelincir dari angkasa, perlahan namun pasti mulai menyentuh garis tipis dan lurus batas cakrawala.
Dari balik menara masjid Al-Hakim yang berdiri kokoh menjulang, cahaya kemilau kuning keemasan itu terlihat terus meredup, seiring bulatan bola api yang semakin terlihat seolah terbenam ke dalam lautan.
Cahaya kerlap-kerlip yang tadi memantul di permukaan laut, bagaikan kilatan ribuan lampu blitz juga terlihat berangsur hilang dan memudar. Bulatan cahaya raksasa itu kini tak lagi tampak perkasa, sudah takdirnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Sang Pencipta, tubuhnya kini dibiarkannya tenggelam, dilumat oleh gelap gulita yang mulai berkuasa.
Tak ada perlu disesali, karena semuanya mesti berjalan dalam siklusnya, esok hari akan kembali untuk memulai masa dan cerita yang berbeda. Siang dan malam akan terus ganti berganti sesuai dengan ketetapan-Nya.
Sayup-sayup dari corong mesjid, terdengar lantunan suara azan yang mengalun indah menggema. Tak hanya dari satu arah, dari seluruh penjuru kota terdengar jelas kalimat suci itu dilantunkan sahut menyahut berirama. Indah, sangat terdengar indah, semua suka cita. Inilah lantunan kalimat-kalimat suci yang menandai datangnya bulan yang dinanti-nantikan kedatangannya sejak lama. Marhaban ya Ramadan.
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!