Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort

Ida Setianingsih - detikTravel
Rabu, 11 Mei 2022 16:48 WIB
loading...
Ida Setianingsih
Deretan Bungalo di sepanjang hutan bakau.
Patung Kuda Cipta Wilaha tinggi 11m
Menuju Patung Kuda melalui jembatan kayu
Seketeng Sewu serupa memasuki taman di Jepang
Lebatnya hutan bakau di atas laut
Jembatan Gantung
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Mengubur Sampah, Mencipta Sejarah, hingga Menuai Berkah Bee Jay Bakau Resort
Probolinggo -

Pantai pasang surut yang kotor telah disulap oleh tiga pendirinya menjadi pantai bakau yang indah dan menarik bagi wisatawan asing dan domestik. Seperti apa?

Setelah menempuh perjalanan melalui jalur tol kurang lebih dua jam (112,4 km) dari Malang ke Probolinggo, sampailah kami ke BJBR (Bee Jay Bakau Resort). Pilihan kami ternyata tidak mengecewakan.

Dengan membayar tiket masuk Rp.60.000 per orang (libur nasional) kami bisa memanjakan mata, hidung, paru-paru, lidah, dan seluruh indra. Sungguh paket wisata lengkap, bukan? Siang itu pengunjung tidak terlalu ramai membuat kami bebas mengambil gambar di seketeng sewu yang mengingatkan kita pada suasana taman di Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah jembatan kayu yang dilengkapi tiang-tiang kayu berwarna merah membentuk lorong. Pada sebelah kanan dan kiri jembatan, pohon bakau yang cukup rapat membuat suasana nyaman dan teduh. Tempat wisata yang digagas oleh tiga bersaudara Benjamin Mangitung, Tan Justinus, dan Juda Mangitung ini mengusung ecotourism concept.

Dari informasi yang saya dapatkan di sana, visi ketiga pendirinya adalah mengubah sampah menjadi emas. Hal ini membuat saya semakin penasaran, tentang bagaimana wujud mimpi mereka. Berada di pinggir Pantai Mayangan seluas 26,3 ha, ketiga pendiri berjibaku dengan tumpukan sampah.

ADVERTISEMENT

Lalu dengan tekad kuat dan dasar ijin pengolahan lahan dari Pemerintah Kota Probolinggo, mereka mulai membersihkan sampah di muara Kali Banger dan Pantai Pasang Surut. Akhirnya terciptalah piramida botol bekas yang tercatat pada rekor Muri sebagai Piramida botol bekas termegah.

Selain itu kami dimanjakan dengan pemandangan laut berpadu pohon bakau nan unik. Kami tak hanya memandang dari tepian sebagaimana wisata pantai pada umumnya, tapi kami didorong untuk mengayunkan langkah menuju tengah laut melewati jembatan kayu sepanjang 2,112 m. Sebuah pengalaman yang unik tentunya.

Dari kejauhan terlihat kuda Troya nan gagah yang terbuat dari 90% kayu pohon kelapa. Patung Kuda Cipta Wilaha terdapat di ujung jalur jembatan kayu. Untuk mencapai kuda tersebut, saya masih harus membayar Rp.5000 tiket masuk.

Namun, pengunjung harus waspada terhadap beberapa kayu jembatan yang telah rapuh, beberapa kali saya menemukan kayu yang goyah karena lapuk dan paku yang longgar.

Selain itu tidak ada pembatas jembatan ya, jadi tetap waspada. Nah, saya tak akan melewatkan kesempatan naik ke puncak kuda. Dari kepala kuda kita bisa melihat pemandangan laut dari ketinggian. Meskipun tampilan luarnya adalah kayu kelapa, kita tak perlu khawatir sebab struktur kaki, tubuh, ekor dan kepala menggunakan baja.

Walaupun begitu hanya 20 orang yang diizinkan naik secara bersamaan. Nama kuda Cipta Wilaha sebenarnya diambil dari kisah Mahabharata. Konon Raden Arjuna Wiwaha mempunyai kuda sakti bernama Cipta Wilaha.

Dengan tinggi 11 m, lebar 6m, dan panjang 13,5 m, kuda Cipta Wilaha terlihat gagah dan memukau di tengah lautan nan tenang. Jika ingin menikmati matahari terbenam dengan taburan lampu di sepanjang jalur jembatan kayu, atau ingin menyambut fajar di sana sembari berolah raga sepanjang jalur jembatan kayu, pengelola telah menyiapkan beberapa bungalow cantik yang juga berada di atas laut.

Kaki saya mulai terasa lelah, juga perut kian menjerit, akhirnya saya dan rombongan menuju ke satu restoran yang ada di bawah tenda impor raksasa seluas 535 m. Restoran makanan laut tersebut suasananya terasa nyaman karena mengusung konsep restoran terbuka yang menyatu dengan pohon bakau yang lebat. Sambil menunggu hidangan tersaji, saya menyempatkan diri berfoto di sekitar restoran yang padat oleh pohon bakau, melihat biota laut jelly fish yang lucu, burung laut, biawak, dan lain sebagainya.

Setelah perut terisi maka saya tak lupa pada Sang Pencipta Alam. Sebuah masjid yang seolah berada di tengah laut telah menanti, Masjid Nurul Bahar atau cahaya di atas laut berkapasitas 60 orang.

Masjid tersebut dindingnya terbuat dari kaca, diumpamakan sebagai kapal kaca yang berlayar di tengah samudra. Hal itu membuat kita betul-betul menyatu dengan ciptaan-Nya, Masya Allah. "Sekali berbuat, setelah itu tiada" begitulah tagline yang dibuat oleh ketiga pendirinya, menyentuh hati saya.

Hide Ads