Girang rasanya hati ini tatkala memasuki pagar sebuah stasiun kereta tua, beberapa waktu lalu di Jl Stasiun No 1, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Sudah lama mendengar, namun baru kali ini saya kesampaian untuk datang ke Museum Kereta Api Ambarawa.
Sebuah lokomotif tua menyambut saya dan rombongan peserta balap lari MesaStila Challenge yang digelar resor MesaStila pagi itu. Museum ini menjadi tempat start lomba lari lintas alam. Nah, sementara menunggu pelari bersiap, saya memilih berjalan-jalan di stasiun ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atap seng besar menaungi stasiun. Di bawah atap ada kantor museum yang antik. 'Anno 1873, Willem I' begitulah tulisan pada plat yang dipasang di dinding stasiun. Stasiun ini dibangun pada tahun 1873 atas perintah Raja Willem I saat itu untuk memobilisasi tentara Belanda ke Semarang.
Tidak ada yang berubah dari stasiun itu, bangunan dibiarkan apa adanya. Gedung bercat putih dan krem ini dihiasi bata ekspos berwarna merah, khas bergaya kolonial. Ada jendela kantor untuk membeli tiket dan bentuknya pun antik. Saya menyusuri peron tua namun lega, rasanya seperti terlempar ke masa silam.
Di museum seluas 27.500 meter persegi ini, bertebaranlah aneka koleksi lokomotif uap. Total ada 21 lokomotif, yang diparkir menyebar di tempat ini. Namun, mata saya langsung menangkap objek menarik. Ada sebuah lokomotif tua yang mesin uapnya menyala!
Dari halaman, saya berlari-lari kecil menghampiri lokomotif bernomor B 2502. Rasanya seperti anak kecil yang punya mainan baru. Melihat sebuah lokomotif tua yang masih berfungsi, ini keren banget! Asap putih dari mesin uap mengepul tebal.
Lokomotif B 2502, bukan lokomotif sembarangan. Lokomotif buatan Maschinenfabriek Esslingen, Jerman ini masih menjalankan tugasnya sebagai kereta wisata. Ya, museum ini menawarkan perjalanan dengan kereta uap yaitu dari Ambarawa ke Bedono atau dari Ambarawa ke Tuntang. Silakan pilih!
Kebetulan dalam kesempatan ini, lokomotif uap ini akan dijalankan bersamaan dengan lomba lari menuju Bedono. Pasti bakal seru kejadiannya. Maklum, jalur kereta akan menanjak, dan lokomotif ini memiliki gerigi di bagian bawah, untuk dapat menempuh jalur mendaki. Lokomotif jenis ini tinggal 3 di dunia, yaitu di Swiss dan India. Bayangkan!
Puas melihat-lihat lokomotif, saya pun menikmati waktu yang tersisa di peron, membayangkan bagaimana suasananya 100 tahun silam. Tak sengaja, mata ini melihat sebuah jam tua di tembok luar gedung kantor stasiun.
Jarum jamnya berhenti. Seolah-olah, waktu memang berhenti bergerak di sini. Suasananya tidak berubah sejak dulu dan wisatawan sedang 'terhisap' kereta waktu untuk pergi ke masa lalu.
(sst/sst)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan