Gersang adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Bukit Soeharto. Bukit ini berada di Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Dinamakan Bukit Soeharto karena sang mantan presiden memang pernah singgah, helikopternya mendarat persis di bukit ini.
"Dulu ini tempat penghijauan dan konservasi. Sekarang ya beginilah," tutur Anto, warga asli Pontianak yang jadi supir rombongan ekspedisi Women Across Borneo, saat mobil mendekati bukit tersebut pada Selasa (9/4/2013) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Puntung rokok kali ya?" ujar Anto sembari tertawa. Ada alasan khusus Anto berkata demikian.
Naik ke Bukit Soeharto lewat jalan mulus beraspal, saya dan beberapa wartawan lain tiba di depan kompleks rumah besar terbuat dari kayu. Namun kompleks megah itu tak bisa mengalahkan atensi kami ke hal yang lebih mengherankan: arena balap liar yang dipenuhi belasan siswa-siswi SMU.
Suara gerungan motor terdengar riuh. Ada yang matic, ada yang manual, ada juga motor balap yang besar dan keren itu. Masing-masing dikendarai siswa berseragam sekolah. Saat itu sekitar pukul 12.00 WIB.
Anto memarkir mobil di seberang kompleks rumah kayu, persis di depan tugu burung enggang (burung khas Kalbar) raksasa. Saya keluar mobil, tengok kanan-kiri, berusaha menghindar dari terjangan motor-motor yang lalu lalang di jalan itu.
Tapi rupanya mereka acuh saja. Balap liar berlangsung seperti tak ada mobil parkir di sana, apalagi orang yang celingak-celinguk keluar mobil sendirian. Saya menyeberang ke arah kompleks rumah kayu sesegera mungkin.
Benar saja. Usai naik beberapa anak tangga, saya dihadapkan pada sebuah plakat tak terawat bertuliskan 'Puncak Penghijauan dan Konservasi Alam Nasional'. Ditandatangani oleh Soeharto pada 23 Desember 1996.
Tak ada kehidupan di kompleks rumah kayu tersebut. Tak ada informasi, tak ada jejak. Mengintip ke salah satu jendelanya, hanya ada ruang kosong dengan lampu menyala remang-remang.
Perhatian saya kembali pada arena balap liar. Saat para pembalap unjuk gigi, belasan supporter baik laki-laki maupun perempuan bersorak menyemangati. Para pembalap bercelana abu-abu itupun semakin sumringah melakukan beragam aksi.
Sama seperti saat datang, mereka tak peduli saat saya menyeberang jalan menuju mobil. Motor-motor itu meliuk di depan dan belakang badan, membuat adrenalin saya terpompa sejenak.
Dari belasan anak sekolahan itu, setidaknya ada 1-2 orang yang memegang batang rokok di tangannya. Entahlah, semoga saja hal itu tidak berhubungan dengan kebakaran yang terjadi bulan Maret lalu.
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol