Alan Malingi, aktivis kebudayaan masyarakat Bima yang dihubungi detikTravel, Selasa (18/9/2018) mengungkapkan di lereng Gunung Lambitu, terutama di Desa Kuta, Desa Sambori dan sekitarnya, istilah Parafu identik dengan sumber mata air.
Parafu adalah mata air tertentu yang turun temurun dijaga dan dibersihkan oleh keturunan pemangku waris Parafu. "Tetapi tidak semua mata air menjadi Parafu," ungkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Sementara di Desa Sambori, ada lima parafu, yaitu La Ngganci, Matakoda, Oi Kalo, Dewa Ompu Manda dan Sanindi.
Warga di dua desa itu meyakini parafu harus dijaga kelestariannya. Pepohonan dan tumbuhan yang ada di area sekitar Parafu tidak diperbolehkan untuk ditebang.
Warga di sekitar sana juga tidak boleh buang hajat atau buang air sembarangan di sekitar area Parafu. Semua larangan itu hingga kini tetap dipatuhi oleh warga di sekitar sana.
Warga Desa Kuta, Yusuf (60) menceritakan pernah seseorang menebang pohon di sekitar parafu tanpa seizin keturunan pemegang parafu, seketika itu pula ia jatuh sakit hingga meninggal dunia setelah menebang pohon di area Parafu itu.
Warga lain bernama Rusnah (30) warga Dusun Lengge, Desa Sambori juga menceritakan setiap tahun parafu dibersihkan dan yang membersihkannya adalah keturunan orang yang diberikan wewenang untuk menjaga parafu.
"Dulu sesajian dibawa ke parafu berupa karodo (beras yang ditumbuk yang dicampur air dan gula), ayam bakar, pisang, sirih, pinang dan aneka makanan," tutur Rusnah.
![]() |
Masyarakat Suku Mbojo terbiasa merawat sumber air (Harianto/detikTravel)
Makanan dan sesajian yang dibawa itu kemudian disantap bersama setelah kegiatan pembersihan Parafu. Namun, saat ini aneka sesajian itu sudah tidak dipakai lagi. Keturunan pemegang parafu mengajak warga untuk membersihkan parafu secara bergotong-royong.
"Menurut saya, parafu dengan segala macam ancaman mistiknya adalah bagian dari bumbu kehidupan masa silam yang pada intinya adalah larangan untuk merusak mata air demi kelangsungan kehidupan mareka," jelas Alan kepada detikTravel.
Menurut dia, parafu adalah bagian dari kearifan tradisional tentang bagaimana masyarakat menjaga titik mata air dengan sugesti tertentu bahwa jika merusak maka akan berdampak pada kesehatan fisik dan kehidupan seseorang.
"Parafu terus menerus menjadi penjaga abadi antara mata air dan pola destruktif masyarakat yang merusak mata air di sana," ujarnya.
Parafu hanya ada di titik mata air tertentu dan sepanjang tahun tetap mengalir jernih.
Kondisi alam di sekitar parafu, seperti Parafu Sanindi di Dusun Lengge, Desa Sambori sangat asri. Pepohonan besar seperti beringin, bambu, duwet dan pohon lain tumbuh subur. Pemandangan yang sangat berbeda dengan di lereng-lereng perbukitan yang terlihat gersang dan tetumbannya meranggas.
"Seandainya seluruh hutan dan gunung di Bima dinyatakan sebagai parafu, mungkin hingga saat ini hutan dan gunung tetap asri," ungkap Alan, Selasa (18/9/2018).
Pemberian label parafu oleh para leluhur Bima di titik mata air tertentu menjadi sangat efektif bagi upaya perlindungan dan kelestarian lingkungan.
"Menurut saya, saatnya desa membuat Peraturan Desa tentang kearifan lokal dalam menjaga ekosistem dan lingkungan," katanya.
Ayo, kamu-kamu yang tinggal di kota besar, jangan mau kalah dengan Suku Mbajo yang bisa menjaga sumber air!
1. (bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum