Para seniman di Pasar Seni Ancol sekarang tengah berjuang mempertahankan eksistensinya di kawasan berusia lebih dari 40 tahun ini. Salah satu seniman senior Pasar Seni, Hafil membagikan ceritanya berkesenian pada detikTravel.
Siang itu, pria paruh baya ini tengah membereskan kios milik seniman bernama Naomi. Si pemilik adalah seniman muda asal Ambon yang tengah pulang kampung. Kios itu menjual berbagai produk seni seperti lukisan, patung, dan pahatan karya Naomi dan karyanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beda-beda harganya tergantung tingkat kesulitan. Kalau potret bisa Rp 500 ribu, sudah termasuk dengan frame," katanya.
![]() |
Hafil sendiri sudah puluhan tahun berkarya di Pasar Seni. "Saya sudah di sini sejak tahun 76, kalau pasarnya sudah ada sejak 75," ujarnya sembari tersenyum.
Sebagai salah satu seniman yang mengikuti perkembangan Pasar Seni sejak awal, Hafil sudah mengalami asam garam berkesenian di sini. Pada awal didirikan, tempat ini adalah tempat favoritnya para maestro seperti S. Sudjojono dan Basuki Abdullah untuk berkumpul bersama para seniman lainnya.
Kendati kondisi Pasar Seni kini terlihat sepi, menurutnya sekarang sudah lebih baik ketimbang beberapa tahun lalu.
"Sekarang manajernya baru jadi agak kepegang, agak lumayan. Dulu sepi engga ada pengunjung, hanya Sabtu-Minggu aja yang ada tapi engga banyak. Kalau sekarang hari biasa ada," terangnya.
Untuk mengakali sepinya pengunjung, ia memanfaatkan media sosial seperti facebook dan instagram untuk menjual karya seninya. Menurutnya, berjualan secara online membantunya mendapatkan lebih banyak pelanggan dan sekaligus melakukan promosi.
Salah satu alasannya masih bertahan di Pasar Seni ini juga karena adanya ikatan emosional dengan kawasan tersebut. Pria asal Surabaya itu sejak awal belajar melukis di sini dan mendapatkan ilmu dari ayahnya.
"Dari bapak saya (belajar melukis). Dulu bapak saya itu yang melukis Si Manis Jembatan Ancol. Bapak saya namanya Subroto, kalau di keraton namanya Ki Sapurega," cerita Hafil.
Perbincangan bersama Hafil semakin menarik ketika ternyata ia adalah anak Subroto atau yang kerap disebut Mbah Broto atau Eyang Broto, pelukis beruntung yang mengabadikan sosok legenda pantai utara Jakarta itu. Hafil mengatakan kalau ayahnya menghilang setelah melukis Si Manis Jembatan Ancol.
"mukso, hilang," katanya.
"Kalau bapak kan beda sama kita-kita. Dia juga cara makannya beda, dia mutih aja bisa 3 tahun 3 bulan 3 hari. Tapi kalau hari-hari biasa makannya umbi-umbian," terang Hafil.
Ilmu dari sang ayah ini rupanya juga tak bisa sekejap ia tiru. Baginya, sang ayah merupakan orang spesial yang bisa melukis dengan perasaan.
"Dia bisa merasakan, lihat orang wajahnya begini itu punya sifat begini, begini, kebaca semua itu. Mempelajari kejiwaan juga," ujarnya.
"Saya sendiri selama puluhan tahun baru bisa merasakan. Sudah 40 tahun saya melukis baru dapat satu lukisan," ungkapnya.
![]() |
Menurutnya, sampai saat ini ia belum menemukan pelukis yang mampu mengembalikan aura Pasar Seni seperti ketika ayahnya masih ada.
"Tidak mudah untuk mencari dan membuat suatu lukisan supaya Pasar Seni bisa mendapatkan auranya kembali. Kalau lukisan yang lain kan untuk makan saja,"ujarnya.
Hafil mengatakan kalau para seniman senior Pasar Seni sekarang kebanyakan sudah meninggal atau sakit. Oleh sebab itu, Pasar Seni membutuhkan bibit baru untuk mempertahankan eksistensinya.
"Saya berharap (Pasar Seni) bisa berkembang dengan semakin banyaknya seniman-seniman baru supaya pasar ini bisa menjadi ajang berkesenian," tutupnya.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan