Papua dan kekayaan alamnya memang tiada dua. Tradisi adat dan gaya hidup penduduknya menjadikan Papua begitu unik dan nyentrik.
Secara tradisional, suku-suku yang tinggal di pegunungan Papua, jauh dari pantai, memiliki cara spesial untuk mendapatkan garam. Bukan mengandalkan garam untuk masak dari tambak-tambak di tepi pantai, mereka mengandalkan kolam air asin sebagai sumber garam.
Suku Moni di pegunungan Papua bagian barat contohnya. Mereka mengandalkan kolam air asin di Hitadipa, Homeyo dan Wandai. Kolam tersebut memiliki konsentrasi garam yang tinggi namun beryodium rendah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suku-suku di Lembah Baliem mengandalkan kolam air asin di Jiwika dan Hetegima.
Bedanya, pembuatan garam di pegunungan barat Papua dilakukan oleh kaum pria, sedangkan di Lembah Baliem, pembuatan garam dikerjakan oleh perempuan.
![]() |
Baca juga: Wujud Mumi Asli dari Papua, Bikin Merinding! |
Garam dibuat dengan cara merendam selama dua hari atau lebih, tumbuh-tumbuhan berpori, serat-serat batang pisang, sejenis tanaman Uricaceae (Elatostema macrophylla).
Setelah direndam, tumbuhan berserat media penyimpan konsentrasi garam ini dikeringkan dan dibakar menjadi abu. Abu ini kemudian digosok-gosok dengan daun pisang hingga lembut, lalu dibungkus dengan daun pandan. Abu inilah yang dipakai sebagai garam.
Garam abu yang dibungkus daun pandan ini, secara tradisional diperdagangkan yaitu dengan media tukar berupa mata uang kerang atau kapak batu.
Sementara itu, penduduk di pedalaman Sarmi, untuk mencukupi kebutuhan garamnya, mereka mengandalkan kolam air asin di tengah hutan. Kolam asin ini digunakan untuk mengawetkan binatang hasil buruan.
Daging kasuari atau babi setelah selesai dibersihkan, selanjutnya direndam dalam kolam ini dalam waktu tertentu untuk kemudian diasap hingga kering.
Sejak, adanya akses penerbangan perintis ke pedalaman, garam modern telah menggantikan posisi garam tradisional. Garam modern dianggap lebih praktis, murah dan berzodium tinggi.
Hanya perempuan generasi tua saja yang sampai saat ini masih membuat Garam Abu. Biasanya garam hanya untuk konsumsi sendiri dan sebagai bumbu memasak bakar batu.
Dalam tradisi bakar batu setelah semua bahan makanan disusun dalam lubang, bagian paling atas ditaburi garam abu. Setelah itu ditutup rumput rapat hingga asap tidak bisa keluar.
Garam Abu sudah tidak diperdagangkan lagi. Sementara kolam air garam akan jadi situs budaya ke depannya.
Tradisi ini dikhawatirkan akan menghilang dan tinggal cerita saja karena hanya generasi tua saja yang masih membuat dan mengkonsumsinya.
***
Artikel ini merupakan kiriman dari Hari Suroto, Peneliti dari Balai Arkeologi Papua. Tulisan telah diubah sesuai kebutuhan redaksi.
(bnl/fem)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol