Cerita asal mula Raja Ampat memiliki beberapa versi. Yang ini kisah dari Kampung Arawai, kamu sudah pernah dengar?
Warga Kampung Arawai mayoritas muslim yang mendapat pengaruh dari Kesultanan Tidore pada masa silam. Kampung Arawai berada di bagian dalam Teluk Mayalibit. Teluk Mayalibit berada di tengah-tengah Pulau Waigeo.
Mayalibit berarti 'masuk kamar atau bilik'. Teluk ini unik, memiliki kadar garam yang rendah. Legenda asal mula Raja Ampat menurut versi Teluk Mayalibit, bermula dari sepasang suami istri, Sawoilo dan Bin Gayang yang bekerja menokok sagu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai pati sagu disimpan dalam wadah tumang, Bin Gayang mencari daun untuk menutupi tumang itu. Bin Gayang mendapatkan pohon gayang, yang di atasnya terdapat segumpal darah.
Baca juga: Ini Tips Wisata Hemat ke Raja Ampat |
Singkat cerita, suami istri ini menyimpan gumpalan darah di daun tikar di rumah. Hingga tujuh hari, sepulang mencari sagu, suami istri ini terkejut dengan suara bayi menangis dari dalam rumah. Rupanya segumpal darah itu telah menjelma menjadi seorang anak perempuan.
Saat menginjak usia 5 tahun, Sawoilo mengundang para tetua marga untuk menyaksikan anaknya itu. Para tetua sepakat, itulah putri mereka, yang tidak dilahirkan, tapi langsung dari Tuhan.
Pada usia 12 tahun, keajaiban terjadi pada sang putri. Namanya mendadak telah tertera dalam tulisan Arab pada pakaiannya yaitu Binramles. Nama itu muncul sendiri di pakaian yang bagus.
Diiringi oleh para tetua marga, Binramles lantas keluar dari Teluk Mayalibit, berpetualang ke pulau-pulau di Raja Ampat.
Selama perjalanan, Binramles memberi nama pulau-pulau di Raja Ampat hingga pulau-pulau di lepas pantai Sorong yaitu Saonek, Batanta, Salawati, Dum, Raam, Soop, Yef Man, dan sebagainya.
Binramles kemudian menikah dengan Raja Moi di Sorong.
Lantaran tanpa mas kawin, Binramles dengan anaknya yang bernama Binladen, kembali ke Teluk Mayalibit.
Karena itu pula, semua keturunan Binramles tidak memakai marga Moi, tapi marga Mayalibit.
***
Artikel ini merupakan kiriman pembaca, Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua. Tulisan sudah disunting sesuai kebutuhan redaksi.
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!