Tahukah kamu, Indonesia sempat memiliki beberapa ibu kota negara sebelum dipusatkan di DKI Jakarta? Salah satunya Koto Tinggi di Sumatera Barat. Ini profinya.
Koto Tinggi berada di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Daerah ini dikenal akan keindahan deretan Bukit Barisan yang digandrungi wisatawan.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Koto Tinggi ini memiliki komoditas unggulan, yakni jeruk. Di sana masyarakat menanami kebun dengan jeruk yang juga diselingi tanaman cabai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Jeruk yang ditanam di sana bukanlah jeruk sembarangan. Dijuluki Jeruk Gunung Omeh, ukuran jeruk ini lebih besar dan manis. Selain itu, kandungan airnya juga melimpah.
Jeruk Gunung Omeh ini juga sudah terkenal hingga ke mancanegara, lho. Pasar Singapura hingga Malaysia sudah dijamah jeruk ini. Wisatawan yang ingin menikmati jeruk itu dapat berkunjung ke agrowisata yang dikelola petani dan kelompok masyarakat sadar wisata.
Nah, selain dapat menikmati jeruk, jika berwisata ke Koto Tinggi, traveler juga dapat menikmati pemandangan Rumah Gadang. Rumah tradisional Minangkabau ini dapat ditemukan dengan mudah di daerah pedesaan.
![]() |
Koto Tinggi dulunya Ibu Kota RI
Di balik pesona alamnya yang memikat, Koto Tinggi menyimpan sejarah perkembangan negara Indonesia. Daerah ini pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948.
Sayangnya, meskipun pernah menjadi ibu kota, tak banyak jejak bangunan yang mengabadikan momen tersebut. Ini karena pada masa itu para pemimpin RI tinggal berpindah-pindah.
Tokoh masyarakat Koto Tinggi, Metrial, mengatakan di masa lampau, kakek serta kerabatnya terlibat dalam berbagai kegiatan PDRI. Mereka bahu-membahu bersama pemimpin-pemimpin bangsa kala itu mempertahankan kedaulatan RI.
Ditemani Wali Nagari Arman, Met, begitu beliau biasa disapa, menuturkan awal mula terbentuknya PDRI.
"PDRI terbentuk 22 Desember 1948 di Halaban Limapuluh Kota. Ini akibat agresi Belanda yang menawan Dwi Tunggal Soekarno Hatta," kata Met.
"Mencegah terjadinya kevakuman pimpinan negara, Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Perekonomian yang saat itu sedang berada di Bukittinggi mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat dan terus menginformasikan kepada dunia akan eksistensi Indonesia," Met menambahkan.
![]() |
Saat mendapat kabar penyerangan di Yogya, Syafruddin bersama rombongan langsung meninggalkan Bukittinggi. Sebelumnya, mereka menghanguskan seluruh sarana prasarana yang ada, kecuali sebuah radio stesen (stasiun) yang nantinya jadi cikal bakal RRI Bukittinggi. Dari Bukittinggi Syafruddin bergerak ke Halaban.
Daerah ini dipilih karena menjadi posko Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di masa itu, sehingga mereka berpendapat keamanan cukup terjamin. Di sanalah Menteri Syafruddin menunggu kedatangan tokoh lainnya yaitu Gubernur Militer Sumatra Barat, Rasjid.
"Jadi, sebenarnya PDRI itu embrionya dari Bukittinggi, lahir di Halaban dan besarnya bergerilya termasuk di Koto Tinggi," ujarnya.
Setelah PDRI terbentuk, atas saran Tan Malaka, sebaiknya pemerintahan dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatra Utara. Makanya, sebagian pemimpin, pengungsi dan tak ketinggalan radio berpindah menuju Koto Tinggi.
Dari sinilah banyak siaran radio mengudara menginformasikan keberadaan Indonesia. Hal tersebut membuat Belanda gerah dan melakukan penyerangan ke Koto Tinggi pada 10 Januari 1949 yang mengakibatkan gugurnya sembilan pejuang Indonesia, atau lebih dikenal sebagai sembilan syuhada.
Kesembilan syuhada tersebut adalah Syarif MP, Engku Kayo Zakaria, Dirin, Nuin, Radian, Manus, Nyik Ali, Abas dan Mak Dirin. Mereka gugur karena dihujani Belanda dengan tembakan saat merusak jembatan Titian Dalam agar pasukan Belanda tidak bisa masuk ke Koto Tinggi tempat para pimpinan PDRI. Meski hanya bersenjatakan kampak, namun Syarif MP kala itu berhasil membunuh seorang tentara Belanda dengan kampaknya.
![]() |
Pemerintah kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 tentang Hari Bela Negara dengan membangun Monumen Bela Negara yang terletak di Jorong Sungai Siriah.
"Monumen telah siap 90 persen. Hanya akses jalan masih belum memadai menuju kesana," dia berharap.
Metrial pun turut menjelaskan perbedaan PDRI dengan PRRI agar masyarakat khususnya generasi muda tidak rancu.
"PDRI dan PRRI dua hal berbeda. Baik konteks maupun waktu. PDRI periode 1948-1949, sedangkan PRRI di tahun 1949-1950. PDRI merupakan penyelamat negara, sementara PRRI bentuk ketidakpuasan atas pemerintah pusat. Semoga sejarah tidak diputarbalikkan. Kasihan anak cucu nantinya, jika kejadian masa lalu dipelintir dari aslinya," kata dia.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!