Kawasan Sangkrah, yang kini menjadi salah satu nama kelurahan di Kota Solo, memiliki sejarah panjang. Sangkrah penting dalam pengelolaan sungai sejak dulu.
Kisah-kisah tentang Sangkrah diungkap dalam kegiatan napak tilas oleh komunitas sejarah Solo Societeit. Kegiatan ini bertajuk 'Mutiara Solo Timur: Menyapa Kawasan Sangkrah Tempo Doeloe'.
Sangkrah, kawasan dengan luas 45 hekatre di Kecamatan Pasar Kliwon itu merupakan peradaban lama dan cikal bakal Kota Solo. Kelurahan Sangkrah dilintasi tiga sungai yaitu Sungai Bengawan Solo, Sungai Pepe dan Sungai Kecing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendiri Solo Societeit, Heri Priyatmoko, menyebut penamaan Sangkrah erat hubungannya dengan sungai, yakni berkaitan dengan mencegat atau membendung sesuatu di sungai, seperti sampah atau ikan.
Ahli bahasa CF Winter dalam kamus Tembung Kawi Mawi Tegesipun, sangkrah bermakna susuh atau sarang. Sedangkan dalam kamus Bausastra Jawa karya WJS Poerwadarminta, dijelaskan terminologi sangkrah adalah rΓͺrencekan lsp. sing dianggo ropoh ut. sing kΓ¨li ing banyu (ranting-ranting untuk mencegat barang yang hanyut di air).
"Sejak awal Sangkrah adalah sungai besar. Babad Giyanti menyebutkan kata 'Bengawan Sangkrah' dalam proses pencarian lokasi ibu kota kerajaan," kata Heri usai kegiatan di Sangkrah, Minggu (26/12/2021).
Pengendalian banjir dari Sangkrah
Dalam perkembangannya, Pakubuwono IV (1788-1820) menguruk kawasan Sangkrah hingga Baturono (barat Semanggi) menjadi daratan. Hal ini dilakukan sebagai langkah pengendalian banjir di masa itu.
Proyek pengendalian banjir juga dilakukan di era-era selanjutnya. Salah satunya di masa Pakubuwono X, yakni setelah adanya peristiwa banjir tahun 1902 yang disebabkan Kali Pepe meluap.
Kemudian dibangunlah kanal yang menghubungkan Sungai Pepe dan Bengawan Solo. Proyek ini rampung pada tahun 1910. Meski demikian, kala itu banjir masih saja menjadi masalah warga Solo.
"Pakubuwono X bersama petinggi kolonial Belanda kemudian membangun pintu air di Demangan, Sangkrah tahun 1918," ujar dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tersebut.
Upaya penanganan banjir terus dilakukan secara berkelanjutan, karena banjir masih menjadi bencana bagi warga Solo. Puncaknya, Solo mengalami banjir besar pada 1966. Penanganan banjir pun masih dilakukan sampai sekarang.
Bangun jembatan
Ketua Solo Societeit, Dani Saptoni, menjelaskan Sangkrah memiliki jembatan yang juga bersejarah. Berdasarkan arsip lawas, diduga lokasi yang dimaksud ialah di sebelah Kantor Kelurahan Sangkrah.
Media massa berbahasa Belanda di tahun 1930 memuat artikel berjudul 'Jalan Baru ke Sangkrah'. Jembatan yang relatif kecil ini bisa dikatakan menghabiskan dana yang besar, yakni 11.000 gulden.
"Biayanya termasuk mahal. Ternyata penyebabnya daerah yang dihubungkan itu dahulunya terisolasi. Selain membangun jembatan, Pakubuwono X juga membangun jalan ke selatan," ujar Dani.
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol