Ini Loloan, Kampung Melayu Muslim di Bali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ini Loloan, Kampung Melayu Muslim di Bali

detikBali - detikTravel
Minggu, 17 Apr 2022 16:16 WIB
Sejarah Kampung Loloan Jembrana
Kampung Loloan Jembrana, Bali (Foto: Istimewa)
Denpasar -

Kampung Loloan yang terletak di tengah Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Bali memiliki cerita yang panjang dan keunikan tersendiri. Selain terkenal dengan bahasanya yang menggunakan Bahasa Melayu, Kampung Loloan juga terkenal dengan kampung kuno.

Akulturasi budaya antara Umat Islam dengan Umat Hindu yang berada di sekitarnya juga sangat kuat. Kampung Loloan kini telah terbagi menjadi dua wilayah, yakni Loloan Barat dan Loloan timur yang wilayahnya dibatasi dengan Sungai Ijo Gading.

Menurut cerita warga setempat, sebelum dikenal sebagai pemukiman umat Islam terbesar di Jembrana. Kampung Loloan ini sebelumnya sangat mengangkat perekonomian masyarakat Jembrana dengan cara membantu berdagang ke luar pulau bahkan hingga ke Singapura.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarawan Loloan, Eka Sabara menceritakan bagaimana asal-usul dari keberadaan kampung Loloan ini. Awalnya, tahun 1669 silam kampung ini terbentuk karena kedatangan orang-orang Bugis yang sebelumnya dikejar-kejar oleh pihak penjajah (Belanda).

Saat itu, para laskar yang menganut agama Islam ini berlabuh di muara Sungai Ijo Gading di wilayah Perancak yang saat itu dinamakan Kampung Bajo yang ditandai dengan bukti fisik Sumur Bajo.

ADVERTISEMENT

"Karena perjanjian Bung Gaya tahun 1667, Sultan Hasanuddin menandatangani sesutau yang ternyata beliau dan panglima perangnya tidak puas. Daripada berdamai dengan pihak penjajah, lebih baik mereka keluar dan dua tahun kemudian atau di tahun 1669 itu berlabuh di muara Sungai Ijo Gading Jembrana," tutur Eka.

Dia melanjutkan, beberapa waktu mereka tinggal di kampung awal tersebut hingga kemudian menyisir ke utara dengan menyusuri Sungai Ijo Gading.

Karena dekat dengan penguasa saat itu yakni Raja Jembrana ke-IV, I Gusti Arya Pancoran, mereka kemudian diberikan izin tempat tinggal di sekitar wilayah Loloan saat ini yang dulunya bernama Tibu Bunter.

Pemimpin pasukan Bernama Daeng Nachkoda yang kemudian menjadikan tempat tersebut dengan nama Bandar Pancoran atau kampung tertua di Loloan.

"Dulu diberikan izin tempat tinggal dengan syarat agar para laskar ini menjadi pasukan paling depan ketika ada serangan. Kebetulan, laskar ini menjadi pasukan Meriam waktu itu. Syarat kedua kemudian diminta untuk membantu menjualkan hasil bumi di Jembrana ini ke luar pulau," kata Eka.

Sejak saat itu, kata dia, perekonomian masyarakat Jembrana mulai menanjak. Bahkan, mereka berhasil membantu menjual hasil bumi Makepung ini hingga ke wilayah Palembang dan juga Singapura.

Selain hasil bumi, juga merambah ke pakaian seperti kain songket, kain tenun dan sebagainya. Seiring waktu berjalan, akulturasi budaya antara masyarakat Loloan atau yang dikenal dengan istilah nyame Loloan dan juga masyarakat sekitar atau nyame Bali semakin kental.

Bahkan, sempat terjadi pernikahan silang antara Nyame Loloan dengan salah satu Keluarga dari Raja Jembrana waktu itu. Sejak saat itu hubungan antara nyame loloan dan nyame hindu terjalin sangat baik hingga sekarang.

Cerita berlanjut, kemudian di tahun 1775 silam, baru dibuat atau dikembangkan menjadi dua perkampungan yakni Kampung Timur Sungai Kampung Mertasari.

Eka Sabara melanjutkan ceritanya, di kedatangan selanjutnya Umat Islam ke Loloan adalah kedatangan rombongan Syarif Abdullah Bin Yahya Al Qadri atau yang lebih dikenal dengan nama Syarif Tua Tahun 1798 silam.

Ia merupakan keturunan Kesultanan Pontianak. Kedatangan tokoh Syarif Tua ini diyakini sebagai akulturasi budaya yang semakin kuat antara nyame loloan dengan nyame Bali.

Hal itu dibuktikan dengan hubungan atau komunikasi yang kuat antara masyarakat Lolan dengan Raja Jembrana Gusti Putu Arya Sloka. Bahkan, karena kedekatan itu masyarakat setempat sempat menghadiahkan Raja Jembrana sebuah rumah panggung yang kini berada di Puri Agung Jembrana.

"Itu satu buah rumah panggung khas juga sekarang masih berada di Puri Jembrana. Dulunya diperuntukan sebagai tempat peristirahatan Raja," katanya.

Sejak saat itu, tutur dia, Raja Jembrana memberikan tanah lagi dengan luas sekitar 80 Hektare di sebelah barat Bandar Pancoran. Luasan tersebut kemudian dibagi menjadi dua yang sekarang dikenal bernama Kelurahan Loloan Timur dan Kelurahan Loloan Barat.

Sejatinya, asal kata Loloan itu dari penyusuran para leluhurnya yakni sungai yang diloan-diloan atau berkelak kelok. Selain itu, Loloan juga dikenal dari wilayahnya yang dulunya memproduksi Lohloan atau jamu karena sebelumnya banyak tabib.

"Jadi untuk asal kata Loloan ini ada banyak. Ada sekitar 8 unsur serapan. Bahkan salah satunya juga dari kata lohloh yang artinya melebur. Melebur dimaksud adalah percampuran baik itu dari Suku Bugis, Melayu dan lainnya," jelas Eka Subrata.

Perkembangan cukup pesat dialami sejak saat itu hingga akhirnya Kampung Loloan ini dikenal sebagai perkampungan umat Islam terbesar di Jembrana, Bali.

Dan hubungan yang sangat baik terjadi antara nyame Bali dan nyame Loloan itu karena memegang teguh konsep menyame braye atau bersaudara. Kemudian dari segi nama, masyarakat di Loloan juga masih menggunakan nama asli leluhurnya di Suku Bugis Sulawesi.

Seperti contohnya Daeng dan sebagainya. Jika sebutannya di Sulawesi adalah Andik, jika di Loloan menggunakan nama Daeng.

"Kampungnya kami ya disini, di tanah Loloan ini. Dari tanah pemberian Raja Jembrana itu kampung kita memang di sini.

Tahun 2017 lalu juga Raja Jembrana sempat datang ke sebuah acara di sini dan memang mengakui bahwa leluhur dari Kerajaan Jembrana yang memberikan tanah ini kepada Syarif Tua yang membuka lahan menjadi Desa Loloan," tuturnya.

Selain cerita sejarah mengenai Loloan, juga terdapat banyak bukti fisik di tanah Loloan ini. Misalnya seperti rumah panggung kuno, masjid tertua di Loloan, beberapa makam.




(msl/msl)

Hide Ads