Di bagian timur wilayah Indonesia, terjalin hubungan yang sangat istimewa antara ikan terbesar di dunia, hiu paus, dengan para pengembara laut. Para pengembara laut itu adalah orang-orang Suku Bugis.
Saya dan suami terbangun oleh suara pemandu kami, Indra, di luar bungalo kami.
"Hai teman-teman, kita berangkat," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu pukul 04.30 WIT dan masih gelap gulita, laut tenang, dan bulan sabit mulai memudar. Gabungan suasana itu menunjukkan sebuah harapan oke untuk menyusuri laut.
Sekawanan burung enggang Papua atau juga dikenal sebagai rangkong terbang tinggi di atas pantai. Suaranya menirukan deru helikopter yang terbang melintas.
Kami berada di Teluk Triton, Kaimana, Provinsi Papua Barat di Indonesia untuk menikmati pemandangan bawah laut yang luar biasa dan memotret hiu paus.
Teluk Triton adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang membolehkan menyelam (scuba diving) bercengkerama dengan hiu paus. Di sini, jumlah pengunjung tidak banyak. Sebaliknya, keanekaragaman hayati laut sangat luar biasa. Kombinasi itu menjadikan spot ini sebagai salah satu tempat paling unik dan indah untuk menyelam.
Teluk Triton termasuk dalam bagian dari bentang laut Kepala Burung, pusat keanekaragaman hayati laut global seluas 225.000 km persegi di ujung barat laut Papua Barat.
Terlindungi karena keterpencilannya, kurang dari 500 orang datang ke sini setiap tahun. Mereka yang datang akan terpesona oleh pemandangan puncak batu kapur, pasir putih yang terjun ke dalam kaleidoskop taman karang bawah laut di laut biru pekat yang kaya nutrisi.
Kami menginap di Triton Bay Divers, resor pertama dan satu-satunya di Teluk Triton: resor ini hanya melayani 12 tamu dan mengatur penyelaman dengan hiu raksasa. Kami berjalan dari bungalo tepi pantai dan dengan bersemangat naik ke perahu yang menunggu.
Kapten kapal memberi isyarat agar kami mematikan obor sehingga penglihatan malamnya dapat mengambil alih: dia membutuhkannya untuk menavigasi dengan aman di sekitar pulau dan singkapan batu kapur saat mencari platform memancing kayu terapung, yang disebut bagan, tempat hiu paus berkumpul.
Baca juga: Ini Loloan, Kampung Melayu Muslim di Bali |
Bagan dibangun oleh orang Bugis, suku bahari yang berasal dari Sulawesi Selatan, yang sering disebut sebagai "gipsi laut" atau "pengembara laut".
Orang Bugis menghabiskan sebagian besar hidup mereka di tengah laut dengan bagan mereka, bergerak jauh untuk mencari perairan pemancingan yang paling kaya.
Selama beberapa generasi, mereka telah mengembangkan hubungan yang luar biasa dengan hiu paus yang setiap pagi mencari makan di bawah jaring mereka, mengisap sarden segar melalui lubang kecil.
Ada banyak tempat di dunia di mana hiu paus berkumpul - seperti Pulau Christmas Australia dan Karang Ningaloo, Kepulauan Galapagos, perairan di lepas pantai Donsol Filipina dan bahkan Laut Merah.
Tetapi, tidak seperti di tempat-tempat itu di mana ciptaan agung ini hanya sekilas muncul, hiu paus dapat ditemukan sepanjang tahun di Teluk Triton.
Mengapa? Karena ke mana orang Bugis dan bagan mereka pergi, hiu paus mengikuti. Alasan mereka? Untuk mendapatkan pakan gratis.
Menyelam dengan hiu paus di sini tidak dapat diatur dan ditentukan tempatnya sebelumnya.
Pertama, Anda harus menemukan orang Bugis dan kemudian meminta izin mereka. Terkadang mereka hanya berjarak 30 menit ke Triton Bay Divers Resort.
Namun, pada kesempatan ini, kami membutuhkan waktu dua jam untuk menemukannya karena ikan tersebut telah bermigrasi ke utara menuju garis pantai Kaimana.
Saat fajar menyingsing, cahaya pagi yang lembut menampakkan sebuah desa dengan struktur kayu terapung di perairan. Bingkai kayu raksasa bagan terbentang dari semua sisi, didukung oleh pelampung cadik untuk menjaga mereka tetap stabil.
Pada malam hari, deretan lampu terang di bagan menerangi air di bawah untuk menarik ikan, udang, dan plankton ke jaring ikan.
Namun, sekarang pukul 06:30 WIT dan lampu diredupkan dan jaring diangkat.
Kami mendekati salah satu bagan terbesar. Saat kami merapat di sisinya, Indra berbicara dengan operator, meminta izin agar kami menyelam di bawahnya. Seorang nelayan Bugis bernama Aching langsung menyambut kami.
Aching bercerita bahwa semua generasi keluarganya bekerja sebagai nelayan bagan.
Di masa lalu, orang Bugis menangkap ikan hanya untuk diri mereka sendiri dan untuk berdagang dengan masyarakat lokal, tetapi sekarang skala industrinya jauh lebih besar, menyediakan ikan untuk pasar lokal dan lebih jauh ke seluruh wilayah.
Aching telah memancing sepanjang malam dan, dengan jala yang sekarang penuh, dia bersantai di bawah sinar matahari pagi.Dia memberi isyarat kepada kami untuk mengintip ke bawah bagan.
Kami segera melihat hiu paus kolosal: ikan terbesar di dunia, sepanjang bus sekolah. Ukurannya sangat menakjubkan.
Ikan Keberuntungan
Aching memberi tahu kami bahwa sebenarnya ada tiga hiu paus di bawah bagan-nya dan dia telah memberikan satu jaring penuh sarden kecil ke dalam air untuk mereka makan. Dikenal oleh orang Bugis sebagai ikan bodo (ikan bodoh) karena sifatnya yang sangat lembut dan jinak, hiu paus dipuja oleh orang Bugis sebagai pertanda keberuntungan.
Secara turun-temurun, kata Aching, keluarganya telah membina hubungan mesra dengan hiu paus, dengan harapan akan dibalas dengan hasil tangkapan yang baik.
Setiap pagi ketika dia mengangkat jaringnya, dia meninggalkan satu jaring di dalam air untuk dimakan oleh hiu paus.
"Ikan-ikan kecil saja. Mereka hanya suka yang kecil-kecil," katanya.
Menariknya, kepercayaan bahwa hiu paus membawa keberuntungan didukung oleh ilmu pengetahuan.
"Hiu paus, serta lumba-lumba, diyakini membawa keberuntungan karena kehadiran mereka membawa ikan-ikan penting seperti teri, tenggiri, dan tuna ke perairan tempat mereka mencari makan. Mereka merupakan indikator perairan kaya nutrisi dan kesehatan ekosistem," kata Iqbal Herwata, dari lembaga Konservasi Indonesia.
"Secara keseluruhan, keberadaan hiu paus membantu keseimbangan rantai makanan dan menjamin sumber makanan yang melimpah bagi sesama spesies laut dan para nelayan Bugis. Kami suka hiu paus. Saya diajari bahwa mereka akan selalu membawa keberuntungan bagi keluarga kami," kata menambahkan.
Cinta itu telah menciptakan pola migrasi yang menarik. Data dari Konservasi Indonesia menunjukkan, meskipun hiu paus Teluk Triton memang menunjukkan pola migrasi, banyak yang memilih untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di daerah tersebut.
Seekor hiu paus, yang disebut Dipsy, yang diberi tag satelit, menghabiskan sebagian besar waktunya selama 17 bulan di Teluk Triton, setelah itu sekilas ia mengunjungi Kepulauan Aru dan Kei di provinsi Maluku, Indonesia timur.
Yang lain, Junior, menunjukkan migrasi tahunan yang jelas selama 24 bulan, mencari makan di Teluk Triton dari November hingga April, menjelajahi Laut Arafura dan laut Timor pada bulan Mei sebelum kembali ke Teluk Triton pada bulan November.
Karena itu, orang Bugis dari waktu ke waktu mengembangkan hubungan yang unik dengan hiu.
"Sepertinya mereka bertemu dengan teman lama setiap kali mereka menarik jala," kata Indra.
Sebelum kami masuk ke air dengan raksasa yang lembut ini, Indra memberi pengarahan kepada kami secara menyeluruh.
"Jaga hubungan visual dengan bagan," katanya. "Jika Anda mencoba mengikuti hiu paus, mudah sekali untuk melupakan bagan dan menjadi bingung."
Meskipun tidak ada peraturan di Indonesia tentang seberapa dekat Anda bisa bertemu hiu paus (tidak seperti negara lain), kami sadar untuk memberi hiu paus ruang dan rasa hormat yang mereka butuhkan.Saat kami turun, kami menyadari tidak akan ada persiapan yang cukup untuk bertemu dengan makhluk sebesar itu.
Seekor jantan besar muncul dari dalam kegelapan, dengan lembut meluncur melewati kami dan naik ke permukaan, mengisap sarden yang lezat dari lubang kecil jaring ke dalam mulutnya yang luas.
Seperti kurcaci kecil, kami dengan hati-hati mendekat untuk mengambil foto.Tiba-tiba seekor jantan besar kedua muncul dari bawah, dengan lembut menyenggol kami dengan sirip dada saat dia lewat.
Kami memotret sirip dada kirinya, karena pola bintik unik di sana dan di belakang insang adalah cara terbaik untuk mengidentifikasinya.
Setelah mengirimkan foto kami ke Konservasi Indonesia sebagai kontribusi untuk program pemantauan hiu paus, kami mengetahui bahwa ia pertama kali terlihat pada 16 Desember 2021 dan menggunakan moniker WP-RT-0209.Selanjutnya, laki-laki ketiga yang sedikit lebih kecil muncul. Dia dengan penasaran mendekati kami dari depan, dengan mulutnya yang besar dan terbuka lebar.
Mengintip ke dalam untuk melihat deretan ratusan gigi kecil, kami menahan diri, bertanya-tanya apakah tabrakan mungkin akan terjadi.
Tapi dia dengan anggun lewat, menatap jauh ke dalam mata kami saat dia pergi. Di bawah, sekelompok besar lumba-lumba menjaga jarak, memakan sarden yang turun dari jaring.
Momentum dikelilingi oleh tiga ikan terbesar namun paling jinak di planet ini sulit untuk dipahami.
Setelah tiga jam, dengan kartu memori kamera penuh dan baterai habis, kami sangat berterima kasih kepada orang Bugis karena telah berbagi kesempatan untuk duduk di meja makan ikan terbesar di laut.
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Sound Horeg Guncang Karnaval Urek Urek Malang
Status Global Geopark Danau Toba di Ujung Tanduk