Tak banyak orang tahu, ternyata ada satu kawasan di Kota Sukabumi yang dinamakan dengan Kota Paris. Penamaan kawasan itu tentu bukan tanpa alasan, pasalnya Kota Paris di Sukabumi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan, penamaan Kota Paris dinisbatkan kepada sebuah kawasan perumahan sebelah timur dan barat pusat kota Sukabumi.
"Pada zaman kolonial Belanda, dua perumahan tersebut seolah menjadi etalase Kota Sukabumi di sebelah barat dan timur kota," kata Irman kepada detikJabar, Minggu (28/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, dua bagian Kota Paris timur dan barat itu memiliki nama asli yaitu Woningcomplex Tjiaoel (timur) dan Wongcomplex Tjipelang (barat). Perumahan tersebut dibangun pada tahun 1931 dengan arsitektur modern.
Irman menjelaskan, awal berdirinya Kota Paris di Sukabumi ini meniru perumahan modern lain yang ada di Tanah Tinggi Senen Jakarta, Gondangdia Baru Jakarta Timur dan Bogor.
"Jika mengacu kepada Kota Paris Bogor, maka kompleks perumahan Bogor yang dibangun tahun 1918 tersebut memang mengadopsi konsep penataan ruang Kota Paris modern ala Haussman dengan jalan dan trotoar luas, penerangan gas dan drainase yang baik," ujarnya.
Karena keindahannya dengan background pemandangan Gunung Salak, maka perumahan yang dibangun oleh pemerintah gemeente Bogor tersebut dijuluki De Staate van Parijs atau Kota Paris. Sejak itulah sebutan Kota Paris melekat di Bogor sebelum Kota Paris Sukabumi.
Kemudian, pembangunan awal perumahan Kota Paris di Sukabumi dibangun oleh pemerintah melalui NV Volkhuisvesting. Pemerintah memodali NV Volkhuisvesting yang berdiri pada 27 Juli 1928 di hadapan Notaris Schottel yang saat ini berupa bangunan heritage Wisma Wisnuwardhani.
"Pendirian ini memang tidak lepas dari rencana pemerintah dalam rapat dengan DPRD sejak awal 1928 untuk melakukan perbaikan kota, di mana salah satunya adalah perumahan modern yang fungsinya tertata rapi dan bersih. Dua tahun kemudian pemerintah membeli tiga petak lahan di Ciaul (Pintuhek) senilai 4.000 Gulden, nilai yang cukup mahal saat itu, setelah itu pembelian lahan juga dilakukan di Cipelang disebrang jalan Zuster Gruninglaan," paparnya.
----
Artikel ini sudah tayang di detikJabar, klik di sini untuk membaca selengkapnya.
(ddn/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol