Welcome d'travelers !

Ayo share cerita pengalaman dan upload photo album travelingmu di sini. Silakan Daftar atau

ADVERTISEMENT

Selasa, 28 Feb 2023 23:42 WIB

DOMESTIC DESTINATIONS

Tradisi Tenun Ikat Malaka, Kemandirian Perempuan, dan Peran KUR BRI

Femi Diah
detikTravel
Kain tenun menjadi salah satu ciri khas dari daerah Nusa Tenggara Timur. Suku Umamae Malaka pun memiliki motif tenun yang dinamakan Futus dan Taesmaneh.
Tradisi menenun oleh perempuan di Malaka, NTT lestari. Tenun terkait erat adat sekaligus cerminan kemandirian mama dan nona. Ada peran KUR BRI di baliknya.(Foto: Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta -

Tradisi menenun oleh perempuan di Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih lestari. Selain untuk memenuhi kebutuhan adat, tenun sekaligus menjadi cerminan kemandirian mama dan nona di kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste itu. Di sini ada peran KUR BRI hingga tradisi itu bertahan.

Tenun ikat merupakan kekhasan tenun di Pulau Timor. Fungsinya, menjadi cara warga lokal sebagai ucapan selamat datang kepada orang luar desa-desa di Malaka, kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Tenun berdampingan dengan sirih dan pinang untuk tradisi itu.

Adalah perempuan-perempuan Malaka yang membuat tenun itu. Mereka membedakan tenun laki-laki dan perempuan.

Perbedaan tenun itu ada pada warnanya. Kain laki-laki, yang disebut tasmaneh, lebih rumit ketimbang kain perempuan, yang dinamai futus.

"Untuk perempuan warnanya lebih beragam, ada hitam, merah kuning, biru, hijau, pokoknya semua ada. Motifnya hanya satu," kata Sesilya Abuk, 42, dari Suku Umamae, dalam perbincangan dengan detikTravel beberapa waktu lalu.

Karena motifnya cuma satu, kain perempuan membutuhkan waktu pembuatan lebih singkat. Tidak sampai satu bulan. Harganya pun lebih murah, sekitar Rp 400-500 ribu.

Sementara itu, kain tenun laki-laki lebih rumit. Kalau motifnya berulang harganya akan semakin mahal. Rata-rata dibanderol dengan nominal Rp 1 juta.

"Kani tenun ini dipakai dalam upacara adat, hajatan, ada orang meninggal, dll," kata dia.

Bagi Sesilya menenun merupakan wujud emansipasi perempuan Malaka. Dan itu sudah ditanamkan secara turun-temurun bahwa perempuan di Malaka harus mandiri.

"Saya menenun sejak kelas 4 SD sampai sekarang," kata dia.

Penenun lain dari, Yoshefina Bui, dari Desa Metamauk, Kobalima Timur, juga menenun untuk mendapatkan penghasilan. Dia tidak mau cuma bergantung kepada suaminya yang memiliki mata pencaharian nelayan.

Mama Fin, sapaan karib Yoshefin, juga berupaya mengembangkan usahanya itu dengan mengambil pinjaman dari BRI Unit Kobalima.

"Saya mengambil pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI sebesar Rp 5 juta tahun lalu. Itu buat beli benang, untuk mengembangkan usaha ini," kata Mama Fin.

Mama Fin rata-rata menghasilkan kain tenun berupa sarung sebulan sekali. Sementara itu, selendang tenun yang kecil sekitar 4-5 hari.

"Itu tidak diselingi dengan kegiatan lain. Akhir-akhir ini banyak sekali acara adat, jadi lebih lama," dia menambahkan.

Seperti Sesilya, Mama Fin juga menenun sejak remaja. Dia belajar dari kedua orang tuanya.

Komitmen Bank BRI dalam Penyaluran KUR

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, memberikan kesempatan kepada pelaku UMKM untuk mengembangkan usaha. Salah satunya, menyediakan program KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, dalam keterangan resminya, Bank BRI berkomitmen dan akan terus mengawal para pelaku usaha kecil atau UMKM untuk terus berkembang, serta memasuki UMKM digital.



Simak Video "Ukiran Kayu Eboni, Warisan Leluhur Desa Tumbur "
[Gambas:Video 20detik]
(fem/ddn)
BERITA TERKAIT
BACA JUGA