Melancong ke Sumatera Barat, belum lengkap bila tak singgah di rumah tradisional Minangkabau yakni Rumah Gadang. Salah satu yang ikonik ada di Payakumbuh.
Payakumbuh merupakan kota terluas kedua di Sumatera Barat. Kota ini terletak di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berjarak sekitar 124 kilometer dari ibu kota Sumatera Barat, Padang.
detikTravel bersama Toyota berkesempatan untuk mampir ke Payakumbuh pada Februari lalu. Tujuan kami datang ke sana adalah untuk mengunjungi Rumah Gadang Balai Nan Duo yang terkenal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumah Gadang Balai Nan Duo merupakan rumah gadang terbesar yang berusia hampir 200 tahun. Meskipun sudah tua, rumah ini tampak kokoh berdiri dan masih digunakan sebagai tempat tinggal dan kegiatan dari kaum Suku Koto.
![]() |
Ketika singgah ke Rumah Gadang Balai Nan Duo, detikTravel bertemu dengan penghulu atau kepala kaum bernama Tedi Rahmat yang bergelar Datuk Mangkuto Simarajo. Tedi memperkenalkan rumah gadang yang ternyata menyimpan banyak kisah dan makna filosofis di balik pembangunannya.
Rumah gadang ini memiliki 50 buah tiang yang menjadi perlambang dari Luhak Limo Puluah. Kemudian ruangannya berjumlah 9, ditambah satu dapur, dan satu anjungan.
"Semua rumah gadang dibangun menghadap ke bukit atau gunung. Kalau rumah ini menghadap ke Gunung Sago. Menghadap gunung karena dulu sejarahnya kami berasal dari Gunung Marapi, jadi ini semacam panduan membangun rumah," kata Tedi.
![]() |
Kemudian jika diperhatikan, rumah gadang selalu memiliki ruang kosong di bawahnya. Menurut Tedi, hal ini dilakukan nenek moyang karena menyesuaikan kondisi geografi saat itu.
"Struktur rumah karena dulunya masih hutan belantara, makanya rumahnya jadi rumah panggung yang di bawahnya kosong," ujarnya.
Lalu mengenai bentuk rumah gadang yang miring, hal itu tidak terlepas dari posisi Sumatera Barat yang berada di jalur gempa. Rupanya, nenek moyang orang Minangkabau sudah mengetahui hal ini dan mengatasinya dengan membangun rumah miring.
"Dibuat miring seperti ini untuk mengikuti gerakan gempa. Berdasarkan kajian struktur secara arsitektur, paling tidak ada kemiringan 2 persen," katanya.
![]() |
Terkait gempa, rumah gadang juga sengaja dibangun tanpa menggunakan paku. Bangunan itu mengandalkan pasak kayu untuk menghubungkan bagian-bagian rumah sehingga bila gempa terjadi rumah akan bergoyang selaras dengan gerakan gempa.
Bagian menarik lainnya dari rumah gadang adalah bentuk atapnya yang menyerupai tanduk kerbau. Hal ini tak dapat dipisahkan dari sejarah kemenangan orang Minangkabau dalam adu kerbau dengan raja dari Jawa.
Selain megah dan kokoh, rumah gadang juga terlihat cantik dengan ukiran-ukiran pada dinding rumahnya. Menurut Tedi, ukuran di rumah itu bukan sekadar untuk hiasan tetapi juga mencerminkan nilai-nilai tertentu.
"Semua ukiran punya arti. Ukiran ini mencerminkan gambaran harapan mereka kepada kehidupan," kata dia.
Ukiran-ukiran di rumah gadang terbagi menjadi 3 jenis yakni ukiran yang terinspirasi dari nama tumbuhan, nama hewan, dan nama benda yang dipakai sehari-hari. Hal ini tak dapat terlepas dari budaya Minangkabau yang bercermin pada alam.
(pin/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol