Pasar di Pacitan ini sungguh unik. Traveler bisa jajan hanya dengan bermodalkan pecahan kaca. Nama pasarnya adalah Pasar Beling. Kok bisa sih?
Seperti namanya, semua jenis transaksi di pasar ini menggunakan koin berbahan kaca atau beling. Tentu saja, setiap pecahan kaca memiliki nilai sesuai dengan nominal rupiah yang ditukarkan. Nilai koin yang tersedia meliputi 2 pecahan. Yaitu Rp 5 ribu dan Rp 10 ribu.
"Ada 5 ribu dan 10 ribu," ucap Dina Wardhiana, sang petugas loket.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasar khusus kuliner tradisional ini terletak di komplek Sanggar Seni Song Meri. Tepatnya di Desa Sukoharjo atau sekitar 2 kilometer timur Kota Pacitan.
Dina, perempuan berkostum batik biru lengkap dengan jilbab kuning itu menyapa ramah tiap pengunjung. Dia kemudian menjelaskan tata cara berbelanja di Pasar Beling.
Satu di antara pengunjung pasar itu adalah Bambang Setyo Utomo. Usai memarkir motor di samping pintu masuk, warga Desa Mentoro itu lantas menghampiri Dina. Bambang menukarkan uangnya senilai Rp 15 ribu.
Tujuan pertama Bambang adalah deretan kios makanan. Dia sengaja datang untuk membeli Lontong Pecel. Tak lupa ia memesan dawet untuk minuman. Hanya dalam hitungan menit menu itu tersaji.
"Sudah lama pingin sarapan di sini. Baru kesampaian sekarang," katanya sembari menenteng piring berisi Lontong Pecel dan segelas dawet.
Di depan deretan warung terdapat pelataran. Di tengahnya ada puluhan meja berbahan potongan kayu dipasang permanen. Begitu pula kursinya berupa papan kayu ditata ala kadarnya.
Setengah jam sebelumnya, tempat itu dipenuhi anggota komunitas gowes. Pasar Beling memang kerap jadi jujugan warga yang ingin bersantai sembari menikmati jajanan ndeso.
Kembali ke cerita Bambang. Pria berkacamata yang juga guru SMP itu memilih tempat berbeda untuk menyantap Lontong Pecel kesukaannya. Yaitu di depan panggung sebelah timur.
Rupanya pilihan itu bukan tanpa alasan. Panggung berbentuk rumah itu sekaligus menjadi tempat pentas musik gamelan. Lagi-lagi, semua jenis instrumen tradisional Jawa itu berbahan kaca.
"Kurang apa nikmat coba. Sarapan sambil nglaras gending," tuturnya sembari sesekali bertepuk tangan mengikuti irama lagu Caping Gunung.
Amin Sastro Diharjo, seniman sekaligus pemrakarsa Pasar Beling mengatakan gagasan itu muncul seiring pembuatan gamelan kaca. Saat itu banyak serpihan yang terpakai.
Beberapa pegiat seni dan tokoh masyarakat pun berdiskusi. Hasilnya mereka sepakat membuatnya jadi koin untuk sarana pembayaran khusus di area Pasar Beling.
"Ada sisa-sisa (kaca) yang berbentuk koin. Jadi dari situ akhirnya kita sepakati dibuat koin pembayaran. Nah, untuk pasarnya kita namai 'Pasar Beling'," terangnya.
Di balik konsepnya yang sederhana, Pasar Beling begitu diminati pengunjung. Apalagi tempat itu tak hanya menyuguhkan aneka jajanan khas, namun juga tampilan musik gamelan.
Sayangnya, Pasar Beling hanya buka sebulan sekali. Tepatnya tiap Ahad Wage. Tentu saja pengunjung harus bersabar untuk dapat menikmati sensasi makan pagi dengan iringan musik gamelan.
"Karena harus menunggu itu juga yang membuat pengunjung penasaran untuk datang," papar Amin.
------
Artikel ini telah naik di detikJatim.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025