Terbang Tertiup Angin

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Yulastriany|12707|JABAR|16

Terbang Tertiup Angin

yulastriany - detikTravel
Rabu, 04 Mei 2011 13:45 WIB
Jakarta -

Pernah dengar tentang paralayang? Kami yakin semua orang pasti pernah mendengarnya namun ternyata masih banyak yang bingung antara paralayang dan gantole.

Sejarah paralayang di Indonesia cukup panjang dan sedikit menguras air mata. Kami mendengarnya sendiri dari perintis dan senior paralayang Indonesia yaitu bapak Gendon Subandon dan opa David. Lebih gila lagi, dua senior itu menandemi kami terbang!

Paralayang di Indonesia memang tidak bisa lepas dari keberadaan para pendaki gunung. Di awal perkembangannya paralayang memang didominasi oleh pendaki gunung / para pecinta alam. Mereka suka naik gunung dan ingin cepat-cepat turun. Oleh karena itu kalau mau turun cepat harus terbang dan pakai parasut. Di sini lah tercetusnya paralayang di Indonesia yang awalnya dikenal dengan julukan; terjun gunung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pak Gendon bersahabat dengan seorang pria bernama Dudi Arief Wahyudi. Mereka memanggilnya Dudi. Saat bercerita tentang Dudi, ada airmata yang menggenang di mata mereka. Kami jadi ikut terharu.

Pak Dudi (Alm) dan pak Gendon mendirikan kelompok terjun gunung Merapi di Yogyakarta pada awal tahun 1990. Karena ini merupakan 'mainan baru' maka kelompok ini hanya beranggotakan mereka berdua saja. Mereka belajar secara otodidak! Betul-betul tak ada yang mengajari. Panduan mereka hanyalah buku, majalah dan manual parasut. Waktu itu internet juga belum ada sehingga mereka betul-betul belajar sendiri dari nol.

Tiga bulan pak Gendon dan pak Dudi belajar paralayang. Mereka berlatih sendiri mulai dari mengembangkan parasut, latihan terjun sampai cara mengendalikannya di angkasa. Tempat berlatih mereka juga tidak tetap. Kadang di bukit-bukit di Parangtritis, kadang di kampus. Parasut yang dipakai waktu itu milik seorang pria bernama Lody, sahabat pak Dudi. Tipenya Drakkar produksi Parachute de France tahun 1987 yang merupakan parasut untuk pemula. Lantas, selain pak Gendon dan Pak Dudi, seorang pria asal Kupang bernama David (kami memanggilnya opa David) juga berjuang dengan paralayang di Jawa Barat. Kadang opa David berkunjung ke Yogyakarta untuk berlatih bersama pak Gendon dan pak Dudi.

Sayangnya keasyikan mereka terhadap paralayang terbalut duka. Pak Dudi meninggal dunia dalam salah satu aksi parayalangnya. Semangat pak Gendon dan opa David bukannya hilang, malah semakin membara! Kepergian pak Dudi menjadi pecut bagi mereka berdua untuk belajar paralayang dengan sungguh-sungguh. Tahun 1993 opa David ke Inggris untuk kursus paralayang, dibiayai oleh Menpora/AURI. Sementara itu tahun 1994 pak Gendon terbang ke Perancis atas biaya sendiri untuk belajar lebih dalam tentang paralayang. Mereka mendalami paralayang ke luar negeri bukan hanya agar bisa terbang dengan baik, tetapi sekaligus untuk mengetahui bagaimana caranya meminimalis resiko atau kecelakaan dari olah raga ini.

Sepulang kursus dari luar negeri, pak Gendon dan opa David mulai giat mendirikan organisasi paralayang Indonesia. Kantor pak Gendon dulu sering jadi tempat berkumpulnya teman-teman pecinta paralayang untuk mendiskusikan dan memperjuangkan paralayang di Indonesia. Pada tahun 1992 komunitas paralayang bertambah banyak. Sayangnya pertumbuhan itu tidak diiringi dengan ketersediaan alat. Mereka masih sering meminjam/memakai alat yang sama.

Perjuangan pak Gendon dan teman-teman tidak sia-sia. Pada 23 Mei 1993 istilah paralayang resmi digunakan untuk olah raga ini, menggantikan istilah terjun gunung. Peresmian nama ini dilakukan di Gunung Haruman, Garut. Tahun 1994 paralayang berada di bawah naungan PGI (Pusat Gantole Indonesia) dalam FASI (Federasi Aero Sport Indonesia). 1996 merupakan tahun yang membahagiakan pak Gendon, opa David dan kawan-kawan karena akhirnya olah raga paralayang diakui sebagai anggota FASI (tidak berada di bawah naungan gantole) dan nama PGI diganti menjadi PLGI (Pusat Layang Gantung Indonesia). Menurut cerita pak Gendon dan opa David, pada tahun 2000 diselenggarakan munas di mana paralayang dipisah dari gantole (PPI; Pusat Paralayang Indonesia). Pada tahun yang sama, Pekan Olahraga Nasional XV berlangsung dan paralayang untuk pertama kalinya resmi menjadi cabang yang dipertandingkan dalam PON ini di Jawa Timur. Medali emas yang diperebutkan adalah sebanyak 4 buah. Peserta yang ikut adalah 32 orang dari 8 kontingen (Sumbar, Sumsel, Riau, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, dan Sulsel).

Begitu tiba di Bogor, kami terobsesi dengan paralayang. Makanya ditetapkan waktu khusus, pagi hari, untuk pergi ke kawasan take-off paralayang yang beralamat di Bukit Paralayang, Jalan Raya Puncak, yang merupakan areal milik PT. PN VIII.

Dari parkiran kami menaiki beberapa anak tangga menuju puncak. Sepanjang jalan menuju puncak, banyak kios yang menjual aneka makanan dan ada yang menyediakan toilet umum. Di puncak ramai orang yang antri terbang. Ada pula fotografer yang sengaja berada di situ untuk mendapatkan gambar bagus. Di salah satu sisinya terdapat meja tempat pendaftaran terbang. Kami harus mengisi formulir pendaftaran (berisi data diri dan surat pernyataan) dan menandatanganinya. Setelah itu mengantri untuk terbang! Biaya terbang dipatok sebesar Rp. 300.000 / orang dan itu pun hanya 5 menit. Tergantung kekuatan angin saat itu. Tapi tak apa, kami puas bisa terbang paralayang. Beruntungnya kami karena kami ditandemi oleh 2 senior dan perintis paralayang Indonesia; pak Gendon dan opa David!

Rasanya saat terbang? Jangan ditanya lagi! Jantung kami sudah berdetak lebih kencang jauh sebelum take-off. Ketika kaki sudah tak bertumpu lagi, berteriak sekencangnya dan tertawa-tawa adalah 2 hal yang kami lakukan. Ini pengalaman baru yang tidak akan pernah kami lupakan! Terbang bersama pesawat sudah biasa. Terbang paralayang, sangat tidak biasa. Ajaib rasanya ketika tubuh kami seolah ringan ditiup angin ke kanan-kiri. Selama terbang pun kami diajak mengobrol oleh opa David dan pak Gendon. Sungguh jadi ingin lagi terbang paralayang!

Bagi Anda yang ingin mencobanya, datang saja ke Bukit Paralayang di Bogor!

(travel/travel)

Hide Ads