Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati

Acep Maulana Nugraha - detikTravel
Selasa, 02 Jul 2019 15:12 WIB
loading...
Acep Maulana Nugraha
Bangunan Unik Desa Wae Rebo yang menjadi daya tarik wisatawan.
Bagian dalam rumah adat di Wae Rebo yang dijadikan tempat istirahat pengunjung atau wisatawan.
Nampak Bagian Dalam Rumah Adat Desa Wae Rebo.
Nampak Bagian Depan Rumah Adat Desa Wae Rebo.
Tempat dimana yang dianggap suci dan wisatawan dilarang memasukinya.
Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati
Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati
Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati
Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati
Wae Rebo, Sebuah Perjalanan Hati
Jakarta - Desa Wae Rebo begitu terkenal. Bukan hanya sekadar budaya dan tradisi, tapi perjalanan ke sana adalah sebuah perjalanan hati.Desa adat Wae Rebo ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, sehingga tempatnya dikelilingi pegunungan yang hijau dan udara yang dihirup sangat segar. Nah untuk rumah adat tersebut bernama Mbara Niang, letaknya dikota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), rumah adat atau desa Wae Rebo sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada tahun 2012, sehingga wisatawan setiap taunnya mengalami peningkatan baik dari wisatawan lokal maupun luar.Untuk menempuh perjalan menuju desa Wae Rebo, rencananya waktu itu perjalanan saya dimulai dari Labuan Bajo dengan menggunakan mini bus. Karena, jarak yang lumayan jauh sekali dan kira kira bisa ditempuh selama delapan jam perjalanan sampai di Desa Denge/ Dintor.Waktu itu pas saya sampai di Bandara Labuan Bajo pas sore hari cuaca agak sedikit tidak mendukung, sehingga saya langgung menuju penginapan. Perkiraan saya pas waktu pagi cerah, ternyata hujan makin deras serta angin kencang dan itu belangsung seharian, akhirnya perjalanan saya tertunda sehari.Karena saya memutuskan untuk berangkat keesokan harinya, tak lama kemudian pas sore hari saya dapat kabar bahwa jalan menuju kota ruteng dari Labuan bajo jalannya terputus karna terkena longsor sebanyak dua belas titik longsor, mendengar kabar tersebut kiranya perjalanan saya di cancel atau memaksa lanjut dengan resiko saya berjalan kaki. Setelah berembuk dengan kawan-kawan, saya lanjut perjalanan menuju desa Wae Rebo.Pagi pun tiba, saya berkemas dan berangkat mulai dari jam tujuh pagi dengan menggunakan mini bus selama setengah jam, tiba di titik longsor pertama yang tidak bisa dilewati oleh kendaraan baik roda empat atau roda dua, perjalanan kaki pun di lanjut dengan menelusuri reruntuhan, tanah berlumpur, bebatuan dan itu saya lewati selama kurang lebih enam jam saya berjalan kaki.Butuh perjuangan melewatinya, terkadang kita mengambil foto selfie atau sekedar bercanda saling menguatkan satu sama lainnya, supaya rasa semangat itu terus ada. Tepat pada jam satu siang akhirnya akses yang terkena longsor pun telah dilewati dan saya melanjutkan kendaraan umum yang bernama 'tuktuk' (kendaraan semacam truck beroda enam yang disulap menjadi kendaraan angkutan umum) karna kursinya terbuat kayu dan di sampingnya hanya terbuat dari pegangan besi saja tanpa ada kaca yang beratapkan semacam seng, berada di sana serasa di dalam oven, sinar matahari serasa di atas kepala panasnya pool.Tepat pada jam setengah lima sore saya sampai di Desa Denge dengan waktu itu cuacanya hujan deras, dan perjalanan pun belum sapai di sini, karena harus melanjutkan lagi dengan berjalan kaki ke desa Wae Rebo yang letaknya di atas gunung.Hari pun mulai gelap, tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda, kaerna di perjalanan tidak ada penerangan, waktu itu saya dan teman teman memutuskan untuk menyimpan tas di perumahan warga sekitar, supaya saat trekking itu agak ringan, karena harus menempuh perjalanan sejauh tujuh kilometer untuk sampai di desa, dan kira kira bisa ditempuh selama tiga sampai empat jam, dengan medan yang licin.Hari pun sudah mulai gelap disertai hujan yang tak kunjung reda, saya dan teman-teman memutuskan untuk naik ojek dengan tarif Rp 50.000 yang bisa hemat perjalanan selama satu jam, sampai di kaki gunung kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki tanpa berhenti, walaupun gelap kami menggunakan flash handphone lumayan untuk penerangan di perjalanan.Setibanya di Desa Wae Rebo sekitar jam tujuh malam, saya membersihkan kaki yang berlumpur serta ada beberapa pacet (sejenis lintah) yang nempel d ikaki, awalnya si takut dan geli ya, tapi karena waktu sudah larut, saya bergegas membersihkan kaki, setelah itu saya berkumpul di salah satu rumah, yang ditinggali oleh ketua adat, kemudian saya dan teman teman diberi arahan sekalian dijelaskan peraturan desa serta perkenalan desa tersebut.Rumah adat desa Wae Rebo ada lima lantai, dan setiap lantainya memiliki fungsinya masing-masing, seperti tempat penyimpanan bahan makanan dan lain-lain. Di dalam rumah tersebut ada tujuh kamar yang dihuni oleh tujuh kepala keluarga, sedangkan di bagian tengah itu tempat berkumpul atau tempat tidur tamu yang berkunjung, serta tempat mereka memasak atau mengolah makanan, setiap kepala keluarga memiliki dapurnya masing masing.Desa Wae Rebo, tidak terdapat aliran listrik sehingga ketika malam tiba mereka menggunakan mesin genset untuk penerangan secukupnya, alat komunikasi, dan alat elektronik lainnya tidak ada sama sekali. Tapi uniknya sebelum memasuki area desa, terdapat satu bangunan yang terdapat alat musik 'Gong' dan dibunyikan ketika ada tamu datang, atau sebagai tanda tamu datang.Nah, bagi wisatawan yang datang jangan sekali kali memberi makanan atau barang kepada anak-anak yang ada di kawasan desa, karena masyarakat desa sudah menerapkan kedisiplinan sejak kecil untuk berusaha demi mendapatkan sesuatu, dalam kata lain jika wisatawan mau memberi makanan atau barang hendaklah berikan kepada orang tuanya terlebih dahulu.Selain dari itu di depan rumah adat ada satu kawasan di mana pengunjung atau wisatawan tidak boleh menaiki atau memasuki kawasan itu karna kawasan tersebut merupakan kawasan suci bagi Desa Wae Rebo. Waktu yang sangat singkat saat tinggal dan bercengkrama dengan masyarakat desa, perjuangan menuju ke Desa Wae Rebo sangat menguras tenaga waktu itu dan terbayar lunas oleh panorama yang disuguhkan, begitu indah alam Indonesia.Bercerita tentang suatu pengalaman dari sebuah perjalanan wisata pasti memiliki kesan menarik dan luarbiasa atau menakjubkan sehingga ingin kembali lagi atau ingin mengunjungi tempat tersebut, nah seperti Dubai, kota padang pasir yang disulap menjadi kota modern serta fasilitas publik yang cangging diiringi dari pembangunan gedung gedung pencakar langit yang di antaranya masuk ke dalam deretan gedung tertinggi di dunia, mengantarkan dubai menjadi kota yang sangat maju di Uni Emirat Arab.Fasilitas satu demi satu terus dibangun dan dikembangkan seperti, taman bunga yang eksotis, air mancur terbesar, salju buatan beserta permainannya dan banyak lainnya menjadikan setiap orang yang berkunjung derdecak kagum.Hal ini merupakan sebagian dari yang saya tahu dari berbagai informasi yang ada tentang Dubai, dan jika saya memiliki kesempatan berkunjung ke kota Dubai, rasanya saya ingin merasakan terjun payung atau menaiki para layang dari Burj Khalifa sehingga bisa merasakan sensasi terbang diantara gedung-gedung tinggi dan melihat kota yang begitu indah dari ketinggian.
Hide Ads