Jakarta - Lembah Bada, di Poso, Sulawesi Tengah adalah Negeri 1.000 Megalit. Kamu bisa melihat banyak artefak kebudayaan megalitikum di sana.Tidak banyak yang mengetahui bahwa Sulawesi Tengah menyimpan pesona wisata dari zaman megalitikum bernama Lembah Bada. Terletak di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Lembah Bada dikelilingi dengan gunung yang membuat akses jalan menuju tempat ini sangat terbatas.Bahkan jika musim penghujan tiba, maka longsoran gunung sering menutup akses jalan. Seperti perjalananku menggunakan titik awal Kota Tentena dengan jarak kurang dari 100 km.Berangkat pagi dari Tentena, maka tampak dengan jelas keindahan Danau Poso di kiri jalan, sebelum berganti tanjakan menyusuri lekukan jalan yang berkelok menembus pegunungan. Setelah 1,5 jam berlalu, kita akan melewati Sungai Malei dengan warna air coklat kemerahan. sesuai namanya, Malei yang berarti merah. Meskipun tidak bening, air Sungai Malei bisa langsung diminum.Tak selamanya perjalanan akan berjalan mulus sesuai rencana. Sekitar kurang dari 14 km menuju desa terdekat di Lembah Bada, tiba-tiba kendaraan harus berhenti.Jalanan putus, longsoran tanah menutupi akses jalan. Tidak ada pilihan jalur alternatif jika sudah berada di kawasan ini, selain menunggu eskavator untuk membersihkan longsoran tanah atau menggunakan jasa panggul motor. Butuh sekitar 6 jam, akhirnya proses pembersihan jalan selesai dan bisa dilintasi.Tepat pukul 4 sore, aku pun tiba di Desa Bewa, Lembah Bada dilanjutkan dengan perjalanan ke Pada Sepe, kawasan di mana Megalitik Palindo berada. Jalanan sempit penuh ilalang dan tidak semuanya beraspal, membuat kendaraan berjalan lambat. Tapi, semuanya terbayarkan saat melihat Megalit Palindo yang tingginya sekitar 4 m dan miring ke kiri.ΓβΓΒ Ukiran batunya sudah halus dan berbentuk wajah manusia berjenis kelamin pria. Palindo merupakan salah satu Megalit terbesar di lembah Bada dari ribuan Megalit lainnya seperti Tarairoe, Tantaduo, Tinoe, Langkebulawa dan masih banyak lainnya.Akhirnya, my extraordinary traveling menuju Negeri 1.000 Megalit ditutup dengan acara mondulu-dulu atau makan sedaun di malam hari bersama warga lokal. Semua makanan dibungkus menggunakan daun asli yang bentuknya menyerupai daun pisang.Setiap satu paket makanan dari beberapa warga, akan dibuat lingkaran terdiri dari 4 hingga 6 orang. Kami semua menikmati sajian dan tradisi lokal Lembah Bada, karena bagiku memahami tradisi lokal dan berbaur bersama adalah nilai tambah dari sebuah traveling.Aku pun berharap, kelak suatu saat nanti diberi kesempatan ke Dubai. Di mana ada pusat kemajuan arsitektur yang memadupadankan antara bangunan pencakar langit dan tetap memelihara budaya lokal dan peninggalannya di kawasan Downstream Dubai. Jika waktu itu tiba, maka aku ingin menyusuri Dubai dan perkembangan peradabannya mulai dari Desert Safari, kunjungan ke Museum Dubai, menikmati matahari terbenam dari Burj Khalifa hingga Sky Diving berlatar Palm Jumeirah.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!