Leblouh: Tradisi Menggemukkan Calon Pengantin Perempuan di Mauritania

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kultur

Leblouh: Tradisi Menggemukkan Calon Pengantin Perempuan di Mauritania

Femi Diah - detikTravel
Selasa, 29 Jul 2025 09:08 WIB
anak perempuan di Mauritania
Anak perempuan di Mauritania (Istimewa)
Mauritania -

Standar kecantikan perempuan di Mauritania unik namun cukup berbahaya. Calon pengantin dipaksa menggemukkan badan agar terlihat mapan dan diterima secara sosial.

Mauritania, sebuah negara di Afrika Utara dengan populasi sekitar lima juta jiwa, memiliki tradisi leblouh. Tradisi itu bukan hanya soal makan kenyang, namun memaksa perempuan untuk mengonsumsi makanan tinggi kalori. Terutama menjelang menikah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Leblouh bukan sekadar makan berlebihan, tetapi pemaksaan konsumsi makanan tinggi kalori seperti couscous yang dicampur susu unta berlemak untuk sarapan. Seorang gadis bisa mengonsumsi 3.000 kalori hanya untuk sarapan. Porsi itu setara dengan 20 burger keju.

Makanan lainnya pun serba berminyak dan berat. Di wilayah pedesaan, praktik ini lebih umum karena tradisi masih kuat dan perempuan tidak diberdayakan di luar ranah domestik. Dalam jurnal penelitian Harvard International Review tahun 2022, sekitar 25% perempuan di Mauritania menjalani leblouh, dan di pedesaan angkanya bisa mencapai 75%.

ADVERTISEMENT

Dalam sehari, anak-anak perempuan itu diberi makanan hingga 16.000 kalori. Padahal, orang dewasa hanya membutuhkan 2.000 kalori setiap harinya.

Sejarah

Standar kecantikan perempuan Mauritania berasal dari bangsa Moor yang populasinya mencakup dua per tiga dari 3,1 juta penduduk negara itu. Mereka memandang perempuan gemuk sebagai simbol status sedangkan perempuan kurus merupakan cerminan dari kemiskinan karena keluarganya dianggap tak mampu memberikan makan.

Orang Moor percaya bahwa perempuan gemuk lebih menarik di mata pria. Mereka akan lebih mudah menikah dan hidup sejahtera. Dengan pandangan bahwa cantik harus gemuk, banyak orang akhirnya berusaha menggemukkan anak-anak perempuan melalui leubloh.

Kamp Penggemukan

Perempuan-perempuan itu dikirim ke kamp-kamp penggemukan tempat anak-anak perempuan muda dipaksa makan oleh ibu atau nenek mereka. Selama musim hujan, saat panen melimpah, leblouh dilakukan secara intensif. Bahkan, anak-anak perempuan yang menolak makan akan dihukum tidak boleh bermain. Mereka juga mengalami konflik batin.

Selain itu, anak-anak bisa mengalami kekerasan fisik dalam proses ini, seperti teknik "Zayar" yang melibatkan penyiksaan kaki jika mereka menolak makan. Studi Harvard pada 2013 menunjukkan bahwa 61% gadis yang menjalani leblouh mengalami pemukulan dan 29% mengalami patah tulang. Ironisnya, pelaku kekerasan sering kali adalah ibu mereka sendiri.

Penggunaan Obat yang Salah dan Regulasi Obat yang Lemah

Sahar Zand, seorang jurnalis, menyelidiki pasar gelap di ibu kota Nouakchott, dan menemukan betapa mudahnya membeli obat tanpa resep. Anak-anak perempuan bahkan diberikan pil KB sejak dini, sebelum menstruasi untuk mempercepat pubertas dan menambah berat badan. Beberapa bahkan mengonsumsi obat ternak atau steroid karena harganya murah. Obat-obatan tersebut sering kali tidak memiliki label dan dijual secara sembunyi-sembunyi, tanpa regulasi.

Menurut WHO, Mauritania tidak memiliki undang-undang yang mewajibkan resep untuk penggunaan antibiotik. Akibatnya, sulit untuk mengontrol perdagangan obat-obatan yang disebut sebagai "obat penggemuk". Hal ini berbeda jauh dengan Amerika Serikat, di mana obat seperti pil KB memerlukan resep dokter, dan fasilitas produksi obat diawasi ketat oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration, 2015).

Dampak Kesehatan

Konsumsi 16.000 kalori per hari bisa menimbulkan kembung, mual, muntah, dan kelelahan. Kondisi itu sangat menyakitkan bagi anak usia lima atau enam tahun. Proses itu mengganggu reseptor leptin yang mengatur rasa lapar dan kenyang, serta menghasilkan gas berlebih. Efek samping lain termasuk pusing dan berkeringat berlebihan.

Selain dampak jangka pendek, para perempuan yang menjalani leubloh juga harus menanggung dampak jangka panjang. Leblouh meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, gagal ginjal, dan osteoartritis.

Sebanyak 18,5% perempuan Mauritania mengalami obesitas, dibandingkan 6,6% pria (Esposito, 2022). Konsumsi pil KB dalam jangka panjang juga menurunkan kepadatan tulang. Karena nutrisi mereka buruk dan akses ke perawatan kesehatan terbatas, banyak perempuan mengalami osteoartritis.

Tingkat diabetes juga meningkat, baik Tipe I maupun Tipe II. Makanan berlemak seperti susu unta, couscous, dan lemak hewan berkontribusi pada kondisi ini. Menurut Dr. Vadel Lemine di Nouakchott, banyak pasien datang dengan kadar gula tinggi, namun data pasti sulit diperoleh karena sistem kesehatan yang buruk, hanya tersedia 0,18 dokter per 1.000 penduduk di Mauritania.

Tekanan Sosial

Meskipun dampak kesehatan sangat berat, tradisi leblouh tetap bertahan. Banyak ibu tetap bangga telah memaksa anak-anak mereka makan demi menikah muda. Salah satu korban bahkan mulai leblouh di usia 4 tahun, menikah di usia 12, dan hamil di usia 13. Tekanan untuk menjadi istri dan ibu membuat banyak gadis kehilangan harga diri dan dipaksa percaya bahwa gemuk adalah norma kecantikan.

Namun, perbedaan mulai terlihat antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di ibu kota Nouakchott, kampanye kesadaran mulai mengurangi praktik leblouh sejak 2003. Gym khusus perempuan dibuka, dan aktivis seperti Yeserha Mint Mohamed Mahmoud mulai mendidik perempuan tentang bahaya leblouh. Namun, tantangan terbesar adalah menjangkau desa-desa terpencil. Hanya 25% perempuan di Mauritania menonton TV, dan lebih sedikit lagi mendengarkan radio. Upaya terbaru termasuk kerja sama dengan tokoh agama dan proyek Sahel Women's Empowerment yang menekankan nilai diri perempuan.

Pada 2017, Mar Jubero Capdeferro, yang menjalankan program gender Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Mauritania, mengatakan generasi muda saat ini mulai meninggalkan tradisi leblouh. Alasannya karena mereka sudah lebih teredukasi dan melihat langsung dampak buruk dari hal ini.

Perempuan Mauritania di perkotaan memiliki pandangan sendiri tentang kecantikan. Mereka tidak terjebak pada stereotip bahwa cantik itu harus gemuk. Namun, praktik leblouh ini masih banyak dilakukan di wilayah pedesaan di mana anak-anak perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan yang baik.




(fem/ddn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads