Malam melarut. Hawa dingin mulai benar-benar menusuk tulang. Di sebuah jalan sepi di sudut Melbourne, Australia, sebuah ruko sedikit lebih terang di banding sebelahnya. Lampu merah kelap-kelip menyala menggantung di atas teras kecil.
"Di sini prostitusi legal," kata Norman (23) yang memandu detikTravel, Rabu (7/5/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada poster syur, tidak ada suara musik berdentum atau etalase yang memampang perempuan berbaju mini. Setiap tamu yang masuk, tamu akan menemui ruang tamu yang disulap jadi resepsionis. Sebuah poster cukup mencolok dipampang di dinding 'No Condom No Sex' dengan gambar alat kelamin laki-laki.
Cukup mencolok juga tanda dilarang memfoto atau merekam. Di luar itu tidak ada visualisasi sensual yang menggoda pria si hidung belang.
"Para PSK di sini terdaftar, dikontrol kesehatannya dan mereka membayar pajak," cerita Norman.
Setelah tamu masuk, seorang mami lalu menawarkan perempuan koleksinya. Tamu lalu disuruh duduk di kursi kecil di pojok ruangan seukuran 2x3 meter itu. Sang Mami lalu memanggil satu persatu bergantian dengan memakai bikini menemui tamu sekedar menyebut nama.
"Hallo, I'm Melisa," kata perempuan pertama dan langsung masuk kembali ke kamar.
Kelimanya berparas Asia Tenggara dengan tarif seratus dollar Australia lebih per setengah jam. Mereka hanya melayani di ruko tersebut dan kalaupun ada yang ingin membawa ke hotel, tarifnya bisa berkali-kali lipat.
"Mereka di identitasnya status pekerjaan ya PSK, kalau tidak ya model majalah dewasa," cerita Norman lagi.
Setiap rumah bordil memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Seperti rumah bordil yang berada dua blok dari tempat pertama. Ruko yang tidak ada keterangannya apapun dari luar berwarna lebih terang. Begitu dibuka, seorang lelaki Tiongkok duduk di meja resepsionis dan beramah tamah sebentar.
Di belakangnya, ada kain tirai kecil yang memisahkan dua ruangan. Lalu si papi memanggil satu persatu koleksinya. Nomor yang dipanggil lalu keluar kamar dengan memakai lingire dan membuka kelambu memperkenalkan nama. Setelah itu buru-buru kelambu ditutup dan giliran perempuan kedua, ketiga, keempat dan kelima silih berganti melakukan hal yang sama.
"Orang tahunya ini tempat prostitusi dari mulut ke mulut atau internet. Tidak ada brosur, pamflet atau lainnya. Dan sengaja diletakkan di pusat kota supaya benar-benar lelaki mata keranjang yang datang menjadi malu," tutur Norman.
Lokasi ini tersebar hampir di setiap sudut Melbourne. Mereka ada yang beraktifitas selama 24 jam. Ada juga rumah bordil khusu sesama lelaki, Subway Station. Lokasinya pun sangat strategis, tidak jauh dari stasiun kereta api di Central Melbourne.
Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan gedung itu adalah spa esek-esek sesama jenis. Begitu masuk, tamu ditanyakan identitas dan membayar AUD 100 lalu memasuki lorong temaram. Setelah di ujung lorong, tamu wajib telanjang dan bisa mandi bersama dengan para lelaki. Selanjutnya terserah Anda, ada uang layanan semakin maksimal.
"Di sini, homoseksual sudah biasa. Masyarakat sudah acuh," ujar Norman.
Beda Melbourne, beda pula Jakarta. Gubernur DKI baru saja mewacanakan lokalalisasi PSK dengan tujuan mengontrol pupulasi PSK, mengawasi kesehatan PSK dan membuat malu hidung belang. Usulan ini sontak menuai prokontra.
(fay/fay)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Sound Horeg Guncang Karnaval Urek Urek Malang