Dirangkum detikTravel, Kamis (10/8/2017), prosesi unik sekaligus seram ini ada di Kuil Drigung, Lhasa, Tibet. Di sana, jenazah dimutilasi dan diberikan ke burung bangkai yang biasa berkeliaran di gunung.
Mayoritas warga Tibet menganut agama Buddha. Mereka menyambut kematian secara sukacita karena percaya reinkarnasi di alam selanjutnya. Oleh karena itulah mereka memilih cara pemakaman langit atau yang disebut dengan ritual 'Jhator'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antaranya jenazah yang tak boleh berusia di bawah 18 tahun, wanita hamil, atau mereka yang meninggal karena penyakit juga kecelakaan. Dari situs resmi Drikung Kagyu Foundation, Drigung Monastery di Tibet merupakan salah satu dari sedikit kuil Buddha di dunia yang masih melakukan ritual pemakaman 'Jhator' yang amat sakral.
Jenazah tidak di kubur ke dalam tanah karena strukturnya yang terlalu keras dan berbatu. Mereka yang meninggal pun tidak dibakar karena kelangkaan bahan bakar dan kayu. Caranya memakamkan dengan memutilasi jenazah, memisahkan daging dengan tulangnya, lalu dijadikan makanan Burung Nasar alias burung bangkai.
Burung Nasar dalam bahasa Tibet disebut Dakini, yang berarti penari langit. Warga Tibet yakin, Dakini adalah reinkarnasi dari malaikat. Mereka akan mengambil arwah jenazah dan mengantarnya ke surga, sebuah tempat menunggu reinkarnasi kehidupan selanjutnya.
Bagi orang Tibet, ritual Jhator juga sarat akan nilai religi. Daging manusia diumpankan pada Burung Nasar karena dianggap menyelamatkan hewan-hewan tersebut.
Mereka meniru lelaku salah satu Buddha yakni Sakyamuni. Konon, Sakyumi pernah melakukan hal demikian untuk menyelamatkan seekor elang dengan memberi makan berupa dagingnya sendiri.
Proses ritual Jhator dimulai dari setelah upacara kematian, jenazah akan dibiarkan begitu saja selama 3 hari. Para biksu akan berdoa mengelilingi jenazah tersebut sebelum Jhator dilakukan. Jenazah lalu diposisikan seperti janin, sama seperti ketika dilahirkan.
Jhator biasanya dilakukan sebelum fajar. Jenazah dibawa ke atas bukit kemudian dilepas pakaiannya. Mutilasi pun dimulai, pemotongan pertama dilakukan pada punggungnya. Kapak dan parang digunakan karena daya potongnya yang dianggap lebih kuat. Tulang, daging, dan organ dalam lainnya dipisahkan.
Tulang kemudian dihancurkan dan dicampur dengan 'tsampa' atau tepung 'barley' panggang. Setelah tubuh benar-benar terpotong seluruhnya, adonan tulang itu kemudian disebar ke tanah. Dakini pun mulai datang.
Masyarakat percaya agar arwah terbawa sepenuhnya ke surga, seluruh bagian tubuh harus dimakan. Setelah adonan tulang, bagian selanjutnya yang jadi persembahan adalah organ dalam, baru kemudian daging.
Bagi orang awam yang melihatnya, tradisi ini tentu terbilang cukup mengerikan. Namun, bagi warga Tibet ritual Jhator menjadi bukti akan pandangan lain terhadap kematian.
Meski banyak pertanyaan yang muncul di benak traveler, prosesi Jhator haram hukumnya bagi mereka yang bukan keluarga. Hanya keluarga mendiang yang boleh hadir di ritual tersebut. Memotret juga haram hukumnya karena masyarakat percaya bisa menimbulkan efek negatif bagi arwah mendiang.
Namun, traveler bisa melihat lokasi ritual Jhator di bukit setinggi 4.150 mdpl dekat Kuil Drigung. Silahkan saja ke sana bila traveler ingin melihatnya. (rdy/aff)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan