Jam menunjukan sekitar pukul 20.00 waktu Amsterdam, matahari pelan-pelan tenggelam. Lampu-lampu mulai memamerkan cahayanya, berpadu dengan bangunan-bangunan khas abad pertengahan.
Suasana di sekitar Amsterdam Centraal dipenuhi orang-orang, baik turis atau warga setempat. Tak jauh dari situlah, kawasan Red Light District berada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat website Red Light District Tours, orang-orang Belanda tidak menyebutnya sebagai Red Light District melainkan De Wallen. Terang saja, memang seolah-olah kawasan tersebut ditutupi tembok. Tidak terang-terangan amat.
Red Light District sudah eksis sejak abad ke-15. Amsterdam Centraal yang saat itu merupakan salah satu pelabuhan, merupakan pintu masuk para pedagang dan pelancong untuk memasuki Amsterdam. Pintar juga menempati lokasi yang strategis.
Red Light District sejatinya punya sejarah yang panjang. Sempat ditutup oleh para pemuka agama setempat dalam jangka waktu yang lama, tapi dibuka kembali oleh periode kekuasan Napoleon di tahun 1811 dengan tentara Prancis, yang menjadi pelanggan utamanya.
![]() |
Hingga kini, Red Light District sudah dijadikan sebagai kawasan prostitusi oleh pemerintah Amsterdam. Sekaligus, sebagai magnet wisata yang ditambahi dengan beberapa museum di sana seperti Museum of Prostitution.
Kaki saya akhirnya menginjak Red Light District. Meski sedang bukan akhir pekan, nyatanya tempat ini pun penuh oleh pengunjung. Mungkin lebih banyak turisnya, sebab banyak muka-muka Asia yang saya lihat.
Red Light District dibelah oleh kanal. Di pinggiran kanalnya itulah baik di sebelah kanan dan kirinya, para pekerja seks menjajakan diri. Mereka berada di dalam suatu etalase kaca, memakai pakaian minim dan berias secantik nan seseksi mungkin.
Di etalase tersebut kebanyakan bercahaya warna merah. Makin menambah semarak dan daya tariknya.
![]() |
Para pekerja seks pun juga 'aktif'. Mereka kerap kali merayu dengan melambaikan tangan, memberikan kecupan manja atau mengedipkan mata. Malah, ada yang membawa kertas bertuliskan 'How Are You? Wanna Date With Me?'.
Yang bikin lebih terbelalak, adalah adanya beberapa tempat pertunjukan yang bertema porno. Ditulis besar-besar, 'Live Porn Show'.
BACA JUGA: Hukuman-hukuman Sadis di Zaman Dulu
Jangan sekali-kali mengeluarkan kamera. Sebab, terdapat banyak security di sana. Mereka tidak memakai seragam atau sejenisnya, cuma kaos saja. Namun begitu ada orang yang mengeluarkan kamera, mereka tidak segan-segan untuk menegurnya dengan keras.
"Jangan cuma mau foto saja, dasar turis miskin," begitu bentak salah seorang penjaga tepat di sebelah saya yang menegur seorang turis.
Tapi ya tetap saja, ada yang sembunyi-sembunyi mengeluarkan kamera. Demi eksistensi diri.
Makin malam, suasananya makin ramai. Menariknya jika diperhatikan, tidak semua pengunjung yang datang ke sini ingin menjajal wisata prostitusi. Banyak dari mereka yang hanya ingin melihat karena penasaran.
![]() |
Karena wisata prostitusi dilegalkan oleh pemerintah Belanda, maka para pekerjanya dilindungi oleh undang-undang. Jangan heran juga, kalau banyak polisi yang berjaga di sana demi menjaga kenyamanan dan keamanan. Khususnya, pada turis-turis yang sudah mabuk berat dan berbuat onar.
Maka daripada itu pula, dilarang untuk memotret para pekerja seksnya. Sebab, itu dinilai melecehkan.
Sampai pukul 2 dini hari, geliat wisata syahwat di Red Light District belum pudar juga. Para pengunjung baik anak-anak muda atau yang sudah berumur silih berdatangan. Ada yang menjawab rasa penasaran untuk melihat dari dekat atau menyalurkan nafsunya. (aff/aff)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!