Korea Utara dan Mitos Liburan yang Salah Kaprah

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Korea Utara dan Mitos Liburan yang Salah Kaprah

bonauli - detikTravel
Sabtu, 05 Jun 2021 12:15 WIB
Photo taken in Pyongyang, Democratic Peoples Republic of Korea
Pyongyang di Korea Utara (iStock)
Pyongyang -

Korea Utara seringkali bikin penasaran atau takut. Meski tertutup negara ini juga mencari cuan dari pariwisata. Namun sayang sering disalahartikan.

Bicara soal liburan ke Korea Utara bukanlah topik yang menyenangkan bagi sebagian orang. Bayang-bayang negara otoriter dan hukum yang dijalankan menjadi momok yang cukup bikin bergidik.

Tak sedikit cerita pengalaman dari berbagai traveler yang liburan ke sana. Mulai dari tak boleh ada interaksi sampai dibuntuti oleh petugas pemerintah menjadi cerita yang kerap didengar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir dari NK News, Korea Utara cukup sedih dengan tanggapan ini. Untuk bisa menikmati Korut, traveler diminta untuk paham betul dengan cara kerja negaranya.

Korea Utara mengakui bahwa tak ada operatur perjalanan independent yang beroperasi di sana. Traveler tidak diperbolehkan untuk backpacking atau menginap di hostel sembari mengeksplor bebas Korut.

ADVERTISEMENT

Satu-satunya cara menikmati Korut adalah melalui operator perjalanan milik pemerintah, sebut saja Korean International Travel Company (KITC). Sebenarnya model pariwisata Korut mencontek milik Uni Soviet yang adalah negara sosialis.

Sejarahnya, pariwisata Korut mulai berlangsung sejak 1953, ketika KITC didirikan. Dulu hampir semua turis dari negara sosialis, negara berkembang atau organisasi komunis persaudaraan.

Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena model pariwisata ini diikuti oleh beberapa negara seperti Tibet, Iran, Bhutan dan Arab Saudi zaman dulu. Dari sudut pandang Korut, mereka ingin menampilkan bagian terbaik dari negara mereka dan melindungi budayanya.

Mitos lain adalah turis hanya boleh menjelajahi Pyongyang. Faktanya Korut mengizinkan turis untuk melihat semua sudut negara mereka kecuali satu dari sembilan provinsi yang memang ditutup.

Turis diperbolehkan untuk mengunjungi bagian-bagian negara yang kurang berkembang. Kecuali Kaesong dan perbatasan antar-Korea.

Pemandu wisata umumnya terbuka dengan fakta bahwa beberapa daerah masih dalam tahap berkembang. Keberadaan mereka diakui namun tetap dengan menjaga nama baik Korut.

Desas-desus lainnya adalah turis yang dilarang berkomunikasi dengan warga lokal. Bahkan katanya itu ilegal.

Padahal tidak begitu alasannya. Seperti Korea Selatan yang konservatif dengan budaya percakapan, Korut pun demikian. Berbicara santai dengan orang asing dianggap tidak sopan di sana.

Ada kalanya warga lokal bercakap-cakap dengan turis. Biasanya mereka spontan menyapa atau sekedar melatih bahasa Inggris mereka.

Ini biasanya terjadi di kereta rute China dan Pyongyang. Turis bisa bertemu dengan diplomat, menteri pemerintah daerah sampai atlet.

"Saya pernah satu gerbong kereta dengan sekelompok polisi yang menghadiri konferensi di Beijing. Mereka tidak hanya berbagai makan siang dengan saya, tetapi juga terbuka dengan pekerjaan dan perbedaan negara mereka," ujar Gareth Johnson dari Young Pioneer Tours yang melakukan perjalanan reguler ke Korut.

Menurut Johnson, turis yang berkunjung ke Korut pada hari libur nasional akan melihat perbedaan yang signifikan. Turis akan melihat warga lokal bernyanyi, menari dan minum bersama di Bukit Moran, Pusat Pyongyang.

Cerita lain yang sering dikemas jadi menyeramkan adalah pemandu wisata yang memata-matai turis. Sekali lagi, ini salah kaprah.

Tahukah kamu, bahwa untuk menjadi pemandu di Korut mereka harus lulus dari universitas spesialis? Contohnya Universitas Bahasa Asing Pyongyang atau Universitas Pariwisata di Pyongyang.

Ada alasan untuk bisa melihat ini secara obyektif. Pemandu wisata adalah pegawai negara di negara sosialis. Sehingga mereka diwajibkan untuk memberi tahu turis sejarah dan budaya mereka versi Korut, bukan versi dunia.

Sejatinya mereka adalah pribadi yang hangat. Turis diperbolehkan kok untuk mengobrol dan tertawa bersama pemandu wisata.

"Sama seperti Anda tidak membuat lelucon tentang Allah di Pakistan, mencemooh Raja di Thiland, demikian pula Anda tidak boleh melubangi budaya politik Korut, terlepas dari Anda setuju atau tidak," jelasnya.

Narasi seram yang ada di film-film dokumenter inilah yang membuat Korut jadi kurang menarik. Padahal Korut sangat mengharapkan adanya turis yang datang berulang kali. Mereka bahkan mengatakan bahwa sorotan utama perjalanan bukan cuma tempat wisata tapi juga pemandu dan persahabatan yang terjalin.




(bnl/bnl)

Hide Ads