3 Skenario Kemenpar Atasi Masalah 'Zero Dollar Tour'

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

3 Skenario Kemenpar Atasi Masalah 'Zero Dollar Tour'

Nabilla Nufianty Putri - detikTravel
Rabu, 24 Okt 2018 18:45 WIB
Foto: Dok Kemenpar
Jakarta - Belakangan merebak praktik 'zero dollar tour' pada kunjungan wisatawan mancanegara asal China ke Bali. 'Zero dollar tour' merujuk pada kedatangan turis China ke Bali yang membeli paket wisata melalui agen perjalanan wisata di negara mereka dengan harga sangat murah.

Harga paketnya disinyalir hanya senilai biaya tiket perjalanan Denpasar-China. Sehingga, sekilas terlihat sangat menguntungkan wisatawan yang membeli paket. Tapi pada kenyataannya, selama di Bali, mereka diwajibkan mengikuti jadwal tur yang telah ditetapkan oleh agen wisata.

Agen wisata kemudian menerapkan praktek monopoli. Wisatawan dibawa berbelanja di tempat-tempat yang telah ditentukan, dan sudah terafiliasi dengan agen wisata yang menawarkan paket 'zero dollar tour'. Harga barang-barang yang ditawarkan jauh lebih tinggi dan dengan metode pembayaran non tunai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini menyebabkan wisatawan mengalami kerugian, bahkan destinasi wisata dan negara yang dikunjungi juga sama menderitanya. Di paket ini, semua tidak ada yang dapat untung, semua gigit jari lantaran semua transaksi terhubung secara nontunai menggunakan aplikasi dari China.



Kemenpar pun angkat suara soal ini, Menteri Pariwisata Arief Yahya ingin menjaga citra pariwisata Bali yang menurutnya adalah harga mati dan tidak boleh ditawar lagi.

"Paket murah itu akan diselesaikan dengan cara B to B. ASITA Bali akan dipertemukan dengan industri dari Tiongkok. Fasilitatornya Gubernur Bali. Itu action terdekat yang akan dilakukan," kata Arief, dalam keterangan tertulis, Selasa (23/10/2018).

Hal yang paling efektif yang dapat dilakukan adalah memperkuat kerja sama antara ASITA atau Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies kita dengan CNTA atauChina National Tourism Association, dengan membuat 'White List Tour Agencies - Tour Operators'.

Membuat daftar atau meregistrasi travel agent atau travel operator (Ta-To), yang direkomendasi oleh kedua belah pihak sehingga mudah mengontrolnya ketika ada keluhan.

"White List itu daftar Ta To yang baik, lawannya Black List daftar Ta To yang nakal. Nanti akan muncul daftar tour operator dan tour travel yang legal, terdaftar dan diakui oleh masing-masing asosiasinya. Karena, sekali lagi ini adalah kerja sama B to B," tutur Arief.



Tenaga Ahli Menteri Bidang Pemasaran dan Kerjasama Pariwisata Kementerian Pariwisata (Kemenpar) I Gde Pitana Prof Pitana bahkan sudah menghubungi Konjen China di Bali. Hasilnya? Konjen China menyambut gembira untuk melakukan pengawasan bersama, antara pemerintah China dan Indonesia.

"Itu lantaran kedua belah pihak ikut dirugikan oleh praktik yang merusak nama baik dan reputasi kedua negara. Thailand juga pernah mengalami hal yang sama, karena itu saya sudah menugaskan untuk benchmark dengan Thailand. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam menangani case 'Zero Dollar Tour' ini? Menertibkan tata niaga industri tour and travel, tanpa harus merusak kerjasama yang sudah berlangsung," terang Arief.

Kemenpar sebagai otoritas tertinggi yang mengatur pariwisata memang seharusnya tidak tinggal diam. Bahkan, semua lini juga ikut serta dan langsung bergerak.

"Tangga 25 Oktober 2018 nanti akan ada FGD, yang menghadirkan industri Pariwisata Bali, ASITA, Pemda Bali dan Kemenpar, untuk menemukan solusi cepat dan efektif mengatasi problem ini. Kami harus memberikan service yang terbaik buat wisman yang sudah ke Bali. Ini untuk masa depan Bali, menjaga komitmen Bali sebagai destinasi wisata terbaik dunia," kata Tenaga Ahli Menteri Bidang Pemasaran dan Kerjasama Pariwisata Kementerian Pariwisata (Kemenpar), I Gde Pitana.

Skenario yang disiapkan ada 3, pertama pemberlakuan batas bawah. Langkah ini dinilai akan membuat industri di Bali survive dan tidak terperangkap pada persaingan harga murah. Untuk yang kedua adalah pelarangan sistem kartel.

"Caranya dengan melakukan pembatasan kunjungan ke kartel toko yang dimiliki warga negara originasi dalam hal itu toko dengan kepemilikan warga China," ungkapnya.

Lalu yang ketiga, Kementerian Pariwisata kedua negara (Indonesia-China) sepakat untuk melakukan seleksi terhadap (Ta/To). Semua Ta/To harus teregistrasi dengan baik di kedua negara.

"Tujuannya, supaya tidak ada image buruk bagi kedua belah pihak. Misalnya, negara tujuan dianggap tidak menarik sehingga wisman originasi memiliki image negatif di suatu negara," ujarnya. (mul/mpr)

Hide Ads