Sudir (60), salah seorang juru foto di Pantai Pangandaran bercerita, ia telah mengikuti perubahan tren teknologi fotografi sejak tahun 1970-an. Ketika menjajal usaha sebagai fotografer wisata sejak tahun 1978, kata Sudir, para fotografer yang jumlahnya hanya segelintir orang masih menggunakan kamera Polaroid.
Ia mengingat, para juru foto wisata ramai-ramai pindah ke kamera analog yang menggunakan negatif film pada tahun 1990-an. Selain tuntutan jaman dengan berkembangnya kamera analog, ia mengingat, para fotografer pindah ke analog karena sempat terjadi kelangkaan kertas foto Polaroid di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nggak lama ramai DSLR, kita ganti lagi," ujar Sudir, Jumat (22/2/2019).
Sudir mengenang, masing-masing era punya kenangannya tersendiri. Sewaktu zaman kamera Polaroid, menurut dia, juru foto harus sangat hati-hati memfoto karena gambar langsung tercetak begitu tombol ditekan.
"Enaknya, foto langsung ada dan langsung dibayar. Waktu itu harganya masih Rp 1000 selembar, terus naik-naik sampai Rp 5 ribu," ujar Sudir.
Kelemahannya, kata dia, foto Polaroid tidak bisa diperbesar. Karena itu, menurut dia, foto negatif film saat itu menjadi alternatif. Namun, menurut dia, menggunakan negatif film bukan berarti tanpa keurangan.
"Nggak enaknya kita harus cuci dulu ke studio, pas balik mau kasih foto, tamunya sudah enggak ada," kata Sudir.
Secara teknologi, menurut Sudir, kamera digital paling menunjang pekerjaan. Fotografer, menurut dia, bebas mengambil gambar dan memilih hasil terbaik.
Namun sisi tidak enaknya, menurut Sudir, banyak wisatawan membawa kamera sendiri, termasuk kamera ponsel. Alhasil, ia menyebut penghasilannya berkurang drastis. Apalagi kamera ponsel sekarang bagus-bagus dan wisatawan suka selfie sendiri.
"Kalau dulu, terasa sejahteralah jadi tukang foto. Sekarang sih mungkin angkanya gede, tapi ya, nilainya sedikit," ujar dia.
Sudir mengaku, penghasilan kotornya kini pada akhir pekan berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. Sudir mengaku tidak punya bayangan bagaimana nasib juru foto wisata ke depan. Ia sadar, zaman tidak bisa ditolak dan orang-orang akan punya kamera sendiri-sendiri.
Makin banyak turis yang suka pakai kamera ponsel, maka tukang foto ini semakin tergerus. Usaha mereka seperti mati perlahan-lahan digerus digitalisasi zaman.
Fotografer wisata lainnya, Abdul Syukur (54) menyebut, saat ini ada 52 fotografer di pantai yang bergabung dalam Organisasi Pemotret Wisata Pangandaran (OPWP). Mereka, kata Abdul, umumnya hanya bekerja akhir pekan. Sementara pada hari-hari biasa, kata dia, masing-masing punya sambilan.
"Ada yang punya warung, ada yang tani, ada yang dagang," kata dia.
(sym/fay)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum