Dosen Pasca Sarjana FIA UI dan Fisip Unjani yang juga pengamat kebijakan publik Dr Riant Nugroho berpendapat, ketika sudah memasuki area 'ketidak wajaran' apalagi menyentuh 'azas Kepentingan Umum dan Anti Monopoli' maka negara harus hadir.
"Pada kondisi baik hingga normal, pemerintah hanya perlu mengatur sampai kebijakan makronya. Biasanya berkenaan dengan kualitas produk, baik barang maupun jasa atau layanan. Standar keamanan. Namun apabila dari suatu kajian kebijakan, pemerintah menilai kondisinya di bawah normal, maka pemerintah bertanggung jawab membuat kebijakan untuk menormalkan kembali," kata Riant Nugroho dalam keterangan tertulis, Jumat (26/4/2019)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Batas atas juga agar tidak menerapkan tarif terlalu mahal, dan memenuhi kewajaran. Hampir semua airlines di dunia memberlakukan Sub-Classes Tariff tersebut, variasi harga, khusus ekonomi, yang implementasinya ditentukan oleh kondisi pasar, seperti demand, supply, time atau season.
Belakangan ini saja, dua group Airlines menerapkan batas atas, baik di peak season maupun low season. Dampaknya, masyarakat pengguna jasa angkutan udara merasakan tarif mahal itu. Maka polemik itu berkepanjangan, karena naik dan bertengger di harga batas atas kompak.
Riant yang sebelumnya juga dosen Senior Visiting Lecturer pada University of Malaya (KL), Sunkyunkwan University (Seoul), dan Adjunct Professor di University of Electronic Science and Technology China pada School of Public Administration & Political Science (Chengdu, PR China) tersebut justru melihat rencana Kemenhub untuk menormalkan pentarifan airlines itu sebagai hal positif.
Menurutnya, Kemenhub memiliki wewenang untuk mengatur hal tersebut.
"Oleh karenanya, kebijakan menetapkan kebijakan tarif bawah dan atas, serta berdasarkan sub kelas mendapat apresiasi. Ketika melihat ada situasi yang tidak wajar," ungkapnya.
Riant juga berpendapat, tanggung jawab pemerintah adalah memastikan kepentingan publik dipenuhi dengan baik oleh industri yang bersangkutan. Berkenaan dengan produk berupa barang dan jasa terkait dengan pelayanan publik yang dikelola oleh industri atau korporasi.
Ia melanjutkan, cara tersebut bisa dengan persuasi atau dialog. Namun dalam kondisi tertentu, jika upaya komunikasi itu tidak bisa berjalan, bisa juga mengatur regulasi sampai tingkat mikro, dan dilaksanakan dalam bentuk pengaturan harga atau tarif.
"Pada saat saya menjadi board member Badan Regulator Telekomunikasi/Kominfo, kita meregulasi tarif telekomunikasi agar fair bagi publik. Dan itu bukan masalah sah atau tidak sah. Melainkan menyeimbangkan kepentingan publik, industri, dan negara," ujarnya lagi.
Kesimpulannya, lanjut Riant, kebijakan Kemenhub untuk mengatur tarif penerbangan sudah betul dan baik. Apa pun dasar kebijakannya, karena secara keilmuan dan best practices memang demikian halnya.
"Sebagai pengajar dan pembelajar kebijakan publik, saya mendukung kebijakan Kemenhub," tegasnya.
Untuk dicatat, kebijakan tersebut bisa jadi bersifat jangka pendek untuk normalisasi. Selain itu, Menhub dapat juga memfasilitasi dukungan lain untuk industri agar lebih mudah dalam mematuhi kebijakan menteri. Salah satunya yang sudah dilakukan, yaitu membantu negosiasi harga avtur dan lainnya.
"Jadi, kebijakan publik harus dipahami secara lebih komprehensif, kontekstual, dan konstruktif. Baik oleh publik maupun industri. Jika ada hal-hal yang perlu didiskusikan, industri dan publik senantiasa dapat membahas dengan pemerintah. Apalagi di era pemerintahan Presiden Jokowi yang terbuka dan responsif kepada masyarakat atau publik," tambahnya.
UU No 1 tahun 2019, tentang penerbangan juga ada kalimat soal Kewajaran Harga dan ada pasal tentang Tarif. Bahkan, di Perpres No 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan juga ada kalimat 'Kepentingan Umum dan Anti Monopoli'.
Kemudian, dalam Permenhub no 20 tahun 2019 ada tata cara dan formulasi perhitungan tarif batas atas penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri. Mengapa ada batas atas dan batas bawah, selama ini sudah berjalan baik, karena ada banyak varian harga dan sesuai dengan demand, supply, season, atau hukum ekonomi.
Namun akan menjadi tidak wajar, jika tidak menggunakan skema Sub-Classes Tariff, atau hanya menggunakan harga batas atas, dari sub classes yang ada. Hal tersebutlah yang menimbulkan efek harga mahal, dan berdampak ke rantai bisnis yang lain di masyarakat. (idr/idr)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol