Di puncak Gunung Kelimutu, terdapat 3 kawah danau yang bisa berubah warna. Mulai dari hitam, biru, putih, hijau, cokelat, sampai merah. Ketiga danau tersebut adalah Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nua Muri Koo Fai, dan Tiwu Ata Polo.
Masyarakat setempat percaya, ketiga danau ini merupakan rumah bagi arwah atau roh orang yang sudah meninggal. Ada danau yang dipercaya menjadi tempat orang jahat, ada danau yang berisi roh orang tua, ada juga danau yang menjadi tempat muda-mudi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jack adalah salah satunya. Turis asal Prancis ini traveling bersama keluarganya dari Labuan Bajo, Pulau Komodo, lantas Kelimutu.
"Fantastis. Saya pernah ke beberapa negara dan tidak pernah melihat yang seperti ini," tuturnya kepada detikTravel, Kamis (14/8/2014).
Ini adalah kunjungan ketiganya ke Danau Kelimutu. Jack menuturkan, dirinya tak pernah bosan trekking dan menikmati keindahan ketiga danau tersebut.
"Sunrisenya menawan, masyarakatnya juga ramah. Saya senang melihat masyarakat antar agama hidup harmonis di sini," tambahnya.
Sama halnya dengan Jack, Xavier asal Prancis juga menuturkan hal serupa. "Saya solo traveling sudah hampir 2 tahun, yang seperti ini (Danau Kelimutu-red) baru sekarang saya temui," paparnya.
Pasangan turis asal Inggris, John dan Lindsay sangat antusias saat bercerita betapa mereka kagum akan Danau Kelimutu. Lindsay menuturkan, tak heran banyak turis Eropa yang kepincut indahnya Flores khususnya Danau Kelimutu.
"Sangat indah, masyarakatnya sangat hangat. Soal pemandangan mungkin boleh diadu dengan negara lain, tapi budaya di sini sangat kuat dan itulah yang menjadi nilai tambah," paparnya.
Danau Kelimutu memang menjadi lokasi diadakannya beberapa upacara adat, salah satunya Pati Ka Du'a Bapu Ata Mata. Ini adalah upacara pemberian 'makan' untuk para roh di ketiga danau tersebut.
(ptr/ptr)
Komentar Terbanyak
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun