Tak Mau Naik Pesawat, Pria Ini Tempuh Jarak 21 Ribu Km Naik Kereta

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Tak Mau Naik Pesawat, Pria Ini Tempuh Jarak 21 Ribu Km Naik Kereta

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Minggu, 08 Des 2019 22:40 WIB
Ilustrasi pesawat (Foto: CNN)
Jakarta - Ini adalah aksi dari traveler yang peduli dengan perubahan iklim. Ribuan orang lainnya juga telah berhenti menggunakan pesawat.

Seperti diberitakan CNN, ini salah satu kisah dari mereka yang pernah naik dua puluh empat kereta di sembilan negara, 21.726 kilometer. Perjalanannya dimulai dari Southampton di Inggris ke China bagian timur.

Yang melakukan perjalanan itu adalah Roger Tyers (37). Ia menghabiskan sebulan di kereta dengan biaya lebih dari USD 2.500 atau Rp 35,3 juta, jumlah itu hampir tiga kali lipat biaya penerbangan PP.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia melakukan perjalanan ke kota pelabuhan China, Ningbo untuk penelitian akademik pada bulan Mei. Ia berkeras bahwa aksinya bukan karena cinta kereta api, tapi lebih ramah emisi hampir 90% dibanding naik pesawat PP.

Tyers mengatakan bahwa ia merasa harus berhenti terbang. Itu ketika, di tahun lalu, para pakar iklim PBB memperingatkan bahwa dunia memiliki waktu kurang dari 11 tahun untuk menghindari tingkat pemanasan global yang sangat dahsyat.

Tyers bukan satu-satunya orang yang menghindari dunia penerbangan dalam menanggapi perubahan iklim. Ribuan orang di seluruh dunia secara terbuka telah berjanji untuk berhenti naik pesawat.

Mereka mengatakan tidak ada pembenaran untuk naik pesawat di mana pemerintah telah mengumumkan keadaan darurat iklim. Apalagi para ilmuwan telah memperingatkan dampak buruk pemanasan global terhadap kesehatan manusia dan masa depan spesies yang tak terhitung jumlahnya.


Malu Naik Pesawat, Ia Tempuh Jarak 22 Ribu Pakai KeretaRute kereta dengan jarak tempuh puluhan ribu kilometer dari Roger Tyers (37) (Foto: CNN)

Malu terbang

Lalu ada lagi aksi aktivis Maja Rosen meluncurkan kampanye 'Penerbangan Gratis' di Swedia pada tahun 2018. Tujuannya mendorong 100.000 orang untuk tidak terbang selama satu tahun.

Nayatanya hanya sekitar 14.000 orang yang menandatangani petisi online #flightfree2019. Namun, Rosen mengatakan bahwa kampanye tersebut telah membuat lebih banyak orang sadar akan urgensi dari krisis iklim dan memotivasi mereka untuk lebih sering naik kereta.

Kampanye ini memicu gelombang unggahan bertagar #flygskam dan #tagskryt dari mereka yang naik kereta di Swedia. Arti tagar itu adalah rasa malu naik pesawat.

Menurut sebuah survei yang dirilis pada Mei 2019 oleh Swedish Railways (SJ), 37% responden memilih untuk bepergian dengan kereta api. Jumlah itu sudah naik signifikan dibandingkan awal tahun 2018 sebanyak 20%.

Seorang juru bicara SJ mengatakan perjalanan kereta api melonjak. Jumlah penumpang pesawat domestik pada bulan Juli turun 12% dibandingkan tahun sebelumnya, menurut Swedavia, sebuah perusahaan yang mengoperasikan 10 bandara tersibuk di Swedia.

Jejak emisi yang dihasilkan penumpang tergantung pada sejumlah faktor, termasuk seberapa jauh mereka terbang, seberapa penuh pesawat itu, dan kelas apa yang mereka pesan. Penumpang first class yang memiliki ruang lebih luas bertanggung jawab atas proporsi yang lebih besar dari emisi pesawat.

Emisi dari perjalanan kereta juga tergantung pada banyak faktor, termasuk mesin yang mentenagai kereta itu. Kereta listrik yang ditenagai oleh energi ramah lingkungan memiliki emisi yang jauh lebih rendah dibanding kereta bertenaga diesel.


Roger Tyers (37) bepergian dengan kereta selama 12 tahun iniRoger Tyers (37) bepergian dengan kereta selama 12 tahun ini (Foto: CNN)

Krisis iklim

Industri penerbangan menyumbang 2% dari emisi karbon dioksida (CO2). Pada 2050, emisi ini diperkirakan akan meningkat hingga 22% jika tidak ada perubahan.

Sebagai contoh, seseorang yang naik pesawat PP dari London ke New York menghasilkan CO2 begitu banyak. Itu sama dengan yang dihasilkan rata-rata orang Uni Eropa saat memanaskan rumah mereka setiap tahun, menurut Komisi Eropa.

Menurut Grantham Research Institute on Climate Change, masih banyak maskapai yang tak berbuat banyak dalam penurunan emisi. Hingga saat ini masih belum jelas strategi jangka panjang dari mereka.

International Air Transport Association (IATA), sebuah organisasi perdagangan 290 maskapai penerbangan, telah menetapkan target 2050 untuk mengurangi emisi. Jumlahnya hingga setengah dari tingkat emisi yang ada di tahun 2005.

"Ini adalah tugas yang sulit karena industri penerbangan masih berkembang, tetapi kami yakin itu dapat dicapai," kata seorang juru bicara IATA.

Mereka berencana menggunakan kombinasi bahan bakar berkelanjutan, langkah efisiensi dan teknologi baru. Adapun penerapannya seperti penciptaan pesawat hibrida hingga listrik.

Hal di atas butuh teknologi yang sangat maju. Baterai listrik saja diproyeksikan baru dapat memberi daya lebih dari setengah mobil baru pada tahun 2040.

Saat ini baterai listrik yang ada tidak cukup kuat membuat pesawat tetap terbang jauh. Hal itu diungkapkan oleh David Romps, seorang profesor ilmu iklim di University of Berkeley di California dan alternatif pengurangan emisi hanya dari kereta listrik.

Hide Ads