Pedersen juga memberlakukan aturan yang sangat ketat pada dirinya. Setidaknya dia harus menghabiskan 24 jam di setiap negara dan tidak bisa kembali ke rumah sampai dia selesai.
"Tidak ada yang menghentikan perjalanan ini kecuali aku. Tapi aku harus bertanya pada diriku sendiri, Apakah aku ingin berhenti? Atau apakah aku ingin bisa mengatakan bahwa aku tidak pernah berhenti, bahkan sekalipun. Tidak ketika saya menderita malaria, tidak ketika saya kehilangan pacar saya, tidak ketika nenek saya meninggal, tidak ketika saya kehilangan dukungan keuangan, tidak ketika saya sakit," katanya.
Tanpa penerbangan, dia melintasi dunia dengan kereta, taksi bis, tuk-tuk, kapal feri dan kapal kontainer. Pedersen juga sangat bergantung kepada kapal kargo untuk melakukan perjalanan jarak jauh.
"Anda tidak bisa begitu saja muncul dan naik kapal kontainer, sebelumnya, kamu harus mendapatkan persetujuan dari perusahaan yang membutuhkan banyak waktu dan kesabaran," kata Pedersen.
Beberapa kali Pedersen juga mengalami kesulitan terkait masalah visa terutama di tujuan seperti Yaman, Irak, Suriah, Arab Saudi, Nauru dan Angola. Butuh lebih dari 3 minggu untuk mendapat visa untuk Iran dan Suriah, itupun dengan bantuan kerabatnya dari Palang merah.
Segala hal buruk selama perjalanan dia alami, namun pengalaman berharga pun tidak ia lupakan, salah satunya saat terkunci di Hong Kong, Pedersen tinggal di rumah sebuah keluarga yang memberikannya tempat tinggal selama beberapa hari. Selama tak bisa kemana-mana karena virus Corona, Pedersen diperbolehkan untuk tinggal selama 86 hari.
![]() |
Dia merasakan kehangatan dan kemurahan hati penduduk Hong Kong. Hal lain yang sama saat dia rasakan saat berada di Kepulauan Solomon. Saat angin topan menghalanginya melanjutkan perjalanan
Ketika Pedersen mengendara sendirian di atas kapal, seorang lelaki tua mengundangnya ke sebuah pulau bernama Vori-Vori untuk menjelajahi kehidupan desa yang hanya memiliki 100 penduduk. Malam harinya, para penduduk meminta Pedersen untuk memutarkan film lewat laptopnya. Dengan menggunakan generator, sebanyak 80 orang berkerumun menonton drama perang 1998 "The Thin Red Line".
"Tidak ada air mengalir, tidak ada listrik, hanya generator jika mereka benar-benar membutuhkan. Mereka menangkap ikan yang mereka makan setiap hari, mereka memiliki banyak kelapa. Anda bisa mandi di sungai. Ini adalah tempat yan menakjubkan," kata Pedersen.
Pengalaman menarik lainnya adalah saat dia melintasi Atlantik Utara menuju Kanada, kapal yang ditumpanginya pun sempat menabrak badai yang mengerikan. Paus muncul untuk bernapas, lumba-lumba melompat dan bermain. Tapi saat malam aurora menghiasi langit dengan indahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama 6,5 tahun Pedersen pun menyadari telah menempuh lebih dari 300.000 km. Dia telah mencapai 194 negara dan menyisakan 9 negara : Palau, Vanuatu, Tonga, Samoa, Tuvalu, Selandia Baru, Australia, Sri Lanka dan Maladewa.
Ketika melanjutkan kembali perjalanannya, dia merencanakan perayaan dengan tunangannya di Maladewa. Pedersen juga merencanakan pernikahannya di Selandia Baru.
"Hari ini, dunia mungkin akan berantakan. tapi bulan depan, matahari akan bersinar di wajahku. Kami berhasil di kapal, mendapatkan visa dan melintasi perbatasan, kami melakukan hal yang mustahil," kata Pedersen.
(elk/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!