Pesona Tanah Humba di NTT memang membuat traveler mana pun kagum dengan kecantikannya. Adapun Sumba memiliki 4 hal yang membuatnya wajib dikunjungi usai corona.
Alam yang masih eksotik dan budaya yang khas, kerap jadi alasan bagi traveler untuk berwisata ke Sumba. Aneka hal terkait Sumba itu pun dibahas lewat 'Virtual Tour Pulau Sumba' yang diselenggarakan oleh startup Atourin, Jumat (8/5/2020) lalu yang diikuti oleh detikcom.
Tur virtual menggunakan perangkat Zoom dan Google Streetview itu pun dipandu langsung oleh Marthen Bira selaku Kepala Desa Tebara. Berdurasi sekitar dua jam, dibahas aneka hal menarik tentang Sumba dari sisi masyarakat lokal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Pernikahan khas Sumba
Masyarakat adat Sumba identik dengan kuda. Keberadaan kuda itu pun turut mewarnai sejumlah prosesi adat Sumba seperti pernikahan dan lainnya.
"Pria membawa mas kawin kerbau dan kuda, di bawa ke ortu wanita. Awal masih dipinang, mengenalkan diri dan punya niat. Biasanya belum menentukan mas kawin," ujar Marthen.
![]() |
Dalam masyarakat Sumba, prosesi penyerahan mas kawin itu disebut dengan tradisi Belis yang biasanya dilakukan oleh pihak pria. Selain binatang, mas kawin juga bisa disimbolkan lewat mamuli (simbol reproduksi) dan kain Sumba.
2. Budaya Penyambutan dengan cium hidung
Seperti Suku Maori di Selandia Baru, masyarakat Sumba juga punya tradisi penyambutan berupa cium hidung. Bukan mencium hidung secara sungguhan, melainkan tradisi menempelkan hidung antara tamu dan tuan rumah.
"Secara budaya menjadi budaya orang Sumba. Dalam kegiatan budaya itu cium hidup. Tanda welcome atau sahnya sebuah kesepakatan adat juga cium hidung. Dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di Sumba dan Pulau Sabu. Di Selandia baru kalau negara lain," ujar Marthen.
![]() |
Tak hanya sebagai salam, tradisi menempelkan hidung juga berlaku untuk mengikat suatu kesepakatan adat atau upaya rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik. Kalau sudah cium hidung, maka semua adalah saudara.
3. Kuburan batu
Sejarah masyarakat adat Sumba disebut telah ada sejak zaman megalitikum atau zaman batu. Hal itu pun tampak lewat kubur batu yang masih digunakan masyarakat Sumba hingga saat ini.
![]() |
Diketahui, kuburan batu itu menjadi bagian penting dalam proses kematian orang Sumba. Khususnya yang masih memegang teguh kepercayaan animisme Marapu.
"Batu-batu ini memang dibuat. Batu putih yang sangat banyak. Dibentuk khusus kebutuhan batu kubur. Jadi jaraknya jauh dari rumah. Ketika dibawa ke perkampungan itu dengan prosesi adat. Seperti berlayar, orang sumba lebih menekankan budaya pada setelah kehidupan ini. Batu yang ditarik seperti perahu. Bentuk batu dan besarnya menentukan status sosial seseorang," terang Marthen.
Adapun kuburan batu khas Sumba terdiri dari enam jenis. Antara lain Watu Pawai, Ko-ang, Koru Watu, Kurukata, Watumanyoba dan Kaduwatu. Kubur batu juga menjadi bukti penghormatan untuk kerabat yang telah berpulang.
4. Pasola
Terakhir, ada tradisi adat Pasola yang rutin diselenggarakan masyarakat Sumba setiap tahunnya. Bagi yang belum tahu, Pasola merupakan ajang pembuktian seorang pria dewasa di atas kuda.
![]() |
Dalam tradisi Pasola, seorang prajurit Sumba akan diuji kemampuannya dengan berkuda sambil menjatuhkan lawan lainnya dengan lembing dan tombak. Namun, kini tradisi itu telah menjadi atraksi wisata yang menjadi daya tarik wisman.
"Tradisi yang sebenarnya bisa ratusan petarung. Akan sampai fatal, sampai luka berat bahkan meninggal. Korban yang terjadi tidak ada tanggung jawab secara hukum. Sudah kesepakatan adat, keluarga akan menerima dengan lapang dada," ujar Marthen.
Biasanya, setiap tahun tradisi Pasola ini rutin diselenggarakan antara bulan Februari dan Maret. Hanya khusus untuk tahun ini, tradisi itu dibatalkan terkait corona.
Semoga saja pandemi ini lekas usai dan traveler bisa segera berkunjung ke Sumba secara langsung. Saat ini dari tur virtual saja dulu.
(rdy/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!