Kisah Turis Terdampar 73 Hari di Karibia Gegara Corona

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Turis Terdampar 73 Hari di Karibia Gegara Corona

Wahyu Setyo Widodo - detikTravel
Kamis, 11 Jun 2020 13:47 WIB
pemenang World Superyacht Awards 2019
Foto: Ilustrasi Kapal Layar (CNN)
Jakarta -

Gara-gara wabah Corona, 12 turis asal Australia terdampar selama 73 hari di laut Karibia. Mereka terkatung-katung karena ditolak masuk ke berbagai negara.

Jika ada pelajaran hidup penting sebagai traveler sejati yang bisa ditanyakan ke Colin Fuge (24), warga negara Australia, maka dia akan menjawab: selalu bersiaplah untuk hal yang terburuk.

Setidaknya itulah yang Colin rasakan setelah terdampar selama 73 hari di Laut Karibia bersama dengan 11 rekannya. Colin terdampar di lautan karena ditolak masuk ke beberapa negara gegara ada wabah virus Corona.


Dihimpun detikTravel dari beberapa sumber, Kamis (11/2/2020), cerita bermula ketika Colin bersama teman-temannya pergi traveling ke Guatemala di Amerika Tengah. Karena tidak punya uang, Colin traveling sambil bekerja. Colin bekerja memperbaiki kapal, dengan imbalan dapat akomodasi gratis.

"Pria ini punya 2 kapal dan kami membantu mereka memperbaiki kapal itu. Mereka mengajarkan kami bagaimana cara berlayar dan hidup di atas kapal. Sebelum itu, kami sama sekali tidak punya pengalaman berlayar. Kami benar-benar pemula," cerita Colin seperti dikutip dari media 9News.

Saat itu, virus Corona masih belum begitu mewabah. Namun ketika bulan Maret, situasi makin serius. Guatemala pun menetapkan kebijakan Lockdown di negaranya.


Karena tidak ingin terjebak di Guatemala, sang pemilik kapal yang berkebangsaan Prancis, ingin memindahkan kapalnya ke Guadeloupe yang notabene termasuk dalam wilayah teritori Prancis.

Akhirnya, Colin bersama teman-temannya disuruh untuk berlayar ke Guadeloupe. Tidak punya pilihan lain karena penerbangan ditutup, maka mereka pun nekat berlayar meski minim pengalaman.

"Kami bisa menunggu sampai karantina selesai, atau pergi ke laut. Kami memilih opsi yang kedua," lanjut Colin.


Setelah 9 Hari Berlayar di Lautan...




Colin dan teman-temannya berlayar ke Guadeloupe menggunakan 2 kapal. Kapal pertama bernama Friendship berjenis Catamaran dengan panjang 12 meteran. Sedangkan kapal kedua bernama 'Josee' berjenis Monohull dengan panjang 9 meteran.

Dengan modal ilmu yang diajarkan pemilik kapal, Colin dan teman-temannya pun berlayar dan mencoba menaklukkan lautan lepas. Hanya mengandalkan tenaga angin dan layar, tanpa mesin dan radio, mereka akhirnya sampai di pelabuhan pertama yaitu pelabuhan di Pulau Roatan yang berada di pesisir pantai Honduras.

Mereka sampai di Honduras setelah berlayar selama 9 hari di lautan. Begitu sampai di Honduras, Colin dan teman-temannya kaget bukan kepalang karena situasi Corona jadi makin serius.


9 Hari berlayar di lautan tanpa sinyal radio apalagi WiFi, benar-benar membuat mereka seperti terasing dari kehidupan dunia luar. Situasi dunia bener-benar berbeda dari sebelum mereka berangkat berlayar.

"Kami sampai malam hari, lalu di-towing oleh petugas pelabuhan karena Honduras dalam situasi Full Lockdown. Petugas pelabuhan naik ke kapal memakai masker, sarung tangan dan APD lengkap. Mereka bahkan tidak mau menyentuh apapun yang kami sentuh di kapal," kisah Colin.

Itulah pengalaman ditolak pertama yang dialami Colin dan kawan-kawan. Tapi ternyata mereka tidak sendirian, ada sekitar 20 kapal lain yang ditolak juga bersandar di Honduras. Tapi mereka memilih untuk membuang jangkar dan menunggu sampai lockdown selesai. Sedangkan Colin dan teman-teman memilih untuk melanjutkan perjalanan.


Di momen perpisahan itulah, Colin dan temannya baru merasakan kebaikan yang tulus dari orang tak dikenal. Rombongan Colin diberikan perbekalan oleh rekan-rekan sesama pelautnya, meski mereka tidak saling kenal.

"Kami kemudian diberi Radio VHF buat berkomunikasi, baterai dan perbekalan makanan. Sungguh luar biasa baiknya," kata Colin.



Situasi Makin Memburuk




Setelah melanjutkan perjalanan dari Honduras, situasi ternyata jadi makin memburuk bagi Colin dan kawan-kawan. Kapal 'Friendship' yang mereka tumpangi mengalami kerusakan dan butuh perbaikan. Sementara itu, gas untuk memasak di kapal itu pun habis.

Untuk mengakali habisnya gas, mereka memasak sejumlah besar makanan di kapal satunya, kemudian mengirim makanan itu ke kapal 'Friendship'. Masalah tidak berhenti sampai situ.

Saat mau sampai ke Kepulauan Cayman, mereka diberhentikan oleh helikopter kepolisian. Rupanya, polisi menerima laporan bahwa mereka dinyatakan hilang setelah sang pemilik kapal tidak bisa menghubungi mereka.

Mengetahui bahwa mereka tidak hilang, Colin dan rombongan akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke Kuba. Di Kuba mereka berharap bisa bersandar sambil mengisi ulang logistik.


Sayang, sesampainya di Kuba mereka ditolak mentah-mentah oleh pihak pelabuhan. Pihak pelabuhan langsung memberikan perintah kepada kapal Colin buat berlayar lagi.

"Ketika sampai di Kuba, sama sekali tidak ada peluang kami bisa bersandar. Mereka bilang, kami tidak peduli dengan berapa banyak makanan atau air minum yang kalian punya, kalian harus pergi. Kami diusir hanya dalam waktu setengah jam saja setelah melepas jangkar," ungkap Colin.

Kapal pun melanjutkan perjalanan ke Jamaika. Situasi tak kunjung membaik.

"Kami sampai di Jamaika dan mereka melempar kapal kami dengan makanan dan air minum donasi dari Palang Merah. Mereka bilang, kami harus keluar dari perairan Jamaika segera," imbuh Colin.


Nasib Membaik di Haiti


Setelah ditolak di Jamaika, mereka melanjutkan perjalanan ke Bahama. Mereka berlayar dengan kondisi tidak ada angin yang bertiup. Membuat mereka terkatung-katung di lautan. Perbekalan pun mulai menipis dan habis.

Di tengah rasa putus asa, mereka akhirnya berlayar ke Haiti. Meski tanpa tahu apa yang akan terjadi nanti, bisa saja mereka ditolak lagi. Tapi mereka tetap berangkat.

Ternyata di Haiti, mereka disambut ramah oleh penduduk lokal. Di tempat itu, tidak ada kasus Corona. Di sana mereka sempat menukarkan uang dan mengisi perbekalan.

"Ternyata tempat itu jadi tempat terbaik untuk mengisi ulang perbekalan selama perjalanan kami," kata Colin.


Beberapa pekan kemudian, akhirnya Colin dan teman-teman sampai juga di Guadeloupe. Mereka diizinkan untuk bersandar dan beristirahat di daratan setelah lebih dari 2 bulan berada di laut.

Colin dan teman-temannya pun mendapat pelajaran berharga dari perjalanan berlayar mereka selama 73 hari di lautan.

"Berlayar itu seperti isolasi mandiri, saat ini berlayar adalah tempat terbaik bagi kami," pungkas Colin.


Hide Ads