Traveler, Jangan Nonton Sirkus Lumba-lumba!

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Traveler, Jangan Nonton Sirkus Lumba-lumba!

Putu Intan - detikTravel
Sabtu, 27 Jun 2020 14:50 WIB
Sirkus keliling lumba-lumba berbahaya tapi marak di Indonesia
Ilustrasi sirkus lumba-lumba (BBC Magazine)
Jakarta -

Traveler pernah menonton sirkus lumba-lumba? Mamalia seperti lumba-lumba memang kerap dipertontonkan sebagai salah satu hiburan di kebun binatang, tempat rekreasi, bahkan sirkus keliling.

Nah, di balik fenomena ini, sebenarnya pertunjukan lumba-lumba itu sudah dilarang pelaksanaannya meskipun belum secara utuh diberlakukan. Pertunjukan lumba-lumba keliling yang berada di luar wilayah konservasi di seluruh Indonesia telah resmi dilarang pada awal Februari 2020. Hal ini dinyatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui surat Nomor S. 989/KKH/AJ/KSA.2/9/2018 terkait satwa lumba-lumba.

Persoalan utama di balik sirkus lumba-lumba adalah klaim fungsi pendidikan yang seolah menjadi pembenaran dari kegiatan tersebut. Padahal menurut pegiat isu lingkungan dan juga travel influencer, Riyanni Djangkaru, alasan itu sebenarnya tidak tepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika kita melihat dokumenter lumba-lumba atau ketika kita dengar cerita lumba-lumba di alam, apakah lumba-lumba di alam melompati lingkaran api? Apakah lumba-lumba ketika di alam mencari makan dengan disuapi? Apakah lumba-lumba di alam, ketika dia di darat ketemu manusia dia cium pipi?," kata Riyanni.

"Edukasi yang sebenarnya malah tidak tersampaikan. Pintarnya dia bukan sejatinya dia sebagai lumba-lumba. Tapi pintar karena mau nurut apa maunya manusia. Apakah itu adil? Dia tidak bersikap sejatinya tapi dipaksakan untuk mengikuti maunya manusia supaya tetap dibilang pintar," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Riyanni menyampaikan, masih ada alternatif lain agar anak-anak mengenal lumba-lumba tanpa harus menonton sirkus lumba-lumba. Apalagi, ada isu kekejaman dalam penangkapan dan pemeliharaan lumba-lumba di luar habitat aslinya.

"Ketika dia dipindahkan dia cuma dilumuri oleh mentega," katanya.

"Misalnya ada dua ekor lumba-lumba yang direhabilitasi sebelum dilepasliarkan di Sanur. Bersama teman-teman Jakarta Animal Aid Network saya sempat diajak lihat ketika mereka baru ditaruh di semacam platform di laut, menunggu perizinannya selesai sebelum mereka dilepasliarkan di laut. Matanya tuh buta kena klorin sama kejeduk-jeduk di kolam. Terus kulitnya pucat abu-abu, itu pas pertama datang. Sekitar 3 minggu kemudian, sudah beda. Matanya yang buram sudah terbuka, badannya mengkilap, baret-baret di tubuhnya sudah kelihatan lebih baik. Dari fisik saja kita bisa lihat bukan tempatnya mereka di taruh di ruang terbatas," ia bercerita.

Kemudian, Riyanni juga mengungkit kondisi kejiwaan lumba-lumba yang terganggu ketika mereka ditempatkan di kolam yang sempit. Lumba-lumba bisa stres karena mereka sebelumnya tinggal di lautan yang luas sehingga mereka bebas berenang.

"Ada kasus lumba-lumba atau paus yang bertingkah gila karena ditempatkan di ruang terbatas, di kolam. Sonarnya mantul lagi. Balik lagi ke dia," ucap Riyanni.

Sonar merupakan sistem yang digunakan lumba-lumba untuk berkomunikasi dan menerima rangsangan. Lumba-lumba akan mengeluarkan suara, bila suara itu mengenai suatu benda, suara itu akan memantul kembali sebagai gema. Hal ini berfungsi bagi mereka untuk mengetahui benda-benda yang ada di sekitarnya, termasuk dapat membuat mereka terhindar dari benturan.

Namun fungsi ini akan terganggu ketika lumba-lumba ada di kolam sempit. Mereka sering berbenturan dengan tembok kolam dan tidak bisa berenang lurus, melainkan hanya berputar-putar di kolam tersebut.

Segala kekejaman yang dialami lumba-lumba ini dapat berhenti terjadi apabila konsumen juga berhenti menyaksikan pertunjukan lumba-lumba. Menyaksikan lumba-lumba langsung di habitat aslinya atau melalui tayangan dokumenter dapat menjadi alternatif cara untuk memberikan edukasi pada anak atau menuntaskan rasa penasaran yang kita miliki.




(pin/ddn)

Hide Ads