Tantangan Membuat Pariwisata Berkelanjutan di Bali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Tantangan Membuat Pariwisata Berkelanjutan di Bali

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Sabtu, 08 Agu 2020 07:19 WIB
Wisatawan domestik menggunakan masker saat liburan Idul Adha 1441H di masa Adaptasi Kebiasaan Baru tahap II di obyek wisata Tanah Lot, Tabanan, Bali, Sabtu (1/8/2020). Obyek wisata tersebut mulai dikunjungi wisatawan dari luar Pulau Bali dengan menerapkan protokol kesehatan COVID-19 meskipun jumlahnya masih sedikit. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Jakarta -

Menjalankan pariwisata berkelanjutan yang rendah emisi dan bermanfaat bagi orang banyak bukan perkara mudah. Ada banyak tantangannya.

Sustainable Tourism Development atau pembangunan pariwisata berkelanjutan tengah digalakkan di Pulau Bali yang jadi rujukan dunia pariwisata Indonesia.

Mulai dari pariwisata yang rendah emisi hingga bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan wisatawan yang datang berkunjung, masuk ke dalam apa yang disebut pariwisata berkelanjutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Topik itu pun dibahas dalam Webinar pariwisata berkelanjutan oleh Desma Center, bertajuk 'Peran Pelaku Pariwisata Dalam Mewujudkan Bali Rendah Emisi' seperti dilihat detikcom, Jumat (7/8/2020).

Turut hadir pula Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau yang akrab disebut Cok Ace. Selaku Ketua PHRI Bali dan BPD Bali, Cok Ace mengaku peduli akan isu tersebut.

ADVERTISEMENT

Terkait pariwisata ramah lingkungan, dirinya menyebut kalau hal itu telah tertuang lewat 2 Perda Bali dan 5 Pergub Bali terkait kepariwisataan budaya Bali hingga energi bersih dan penggunaan kendaraan listrik.

Hanya disebutnya, ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan tersebut.

"Ada tiga aspek, manusia, biaya dan teknologi. Dari aspek manusia, masih banyak yang merasa bahwa hal ini tidak terlalu penting. Biaya investasi awal yang tinggi, mengurungkan minat pengusaha untuk menerapkannya. Teknologi, trust pelaku bisnis terhadap teknologi ramah lingkungan kurang baik," pungkas Cok Ace.

Terkait tantangan di atas, Cok Ace juga telah memikirkan jawabannya. Ada 3 jawaban dari masing-masing aspek di atas.

"Meningkatkan sosialisasi mengenai pentingnya pemanfaatan teknologi dan bahan bakar ramah lingkungan, memberikan insentif (subsidi/ white list, modal, deregulasi) kepada pelaku pariwisata dan mendorong pengembangan teknologi hijau yang mumpuni dan terjangkau," ungkapnya.

Senada dengan Cok Ace, pendiri dan Direktur Desma Center, Wiwik Mahdayani juga menjabarkan tantangan yang tak jauh beda. Terutama terkait akses menuju sumber informasi.

"Pelaku wisata dan UMKM, mereka tidak tahu bagaimana menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan dalam usaha mereka. Ada tantangan dalam akses informasi, ini masih jadi domainnya banyak usaha yang masuk golongan menengah ke atas," pungkas Wiwik.

Para pelaku UMKM yang mayoritas merupakan kaum menengah ke bawah disebut Wiwik masih minim akses menuju informasi soal pariwisata berkelanjutan. Tak usah jauh-jauh bicara energi terbarukan dan ramah lingkungan yang hanya diketahui segelintir pihak.

"Terkadang ramah lingkungan dianggap memakan biaya tinggi, apa ramah lingkungan tidak terjangkau. Saya sih segan pakai istilah mahal," ungkapnya.

Lebih lanjut, Wiwik menjelaskan kalau tak sedikit pelaku perhotelan Bali yang sudah menerapkan pariwisata berkelanjutan yang ramah lingkungan. Namun, informasi baik itu belum diedukasikan pada para tamu. Padahal bisa jadi nilai plus. "Banyak hotel sebetulnya, transportasi dan usaha lain sudah menerapkan prinsip ramah lingkungan, tapi tidak diinformasikan lewat media sosial dan promosi mereka. Calon konsumen tidak tahu," jelasnya.




(rdy/ddn)

Hide Ads