Cerita Agustinus Wibowo Menelisik Islam Hadap Barat dan Timur di Suriname

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Cerita Agustinus Wibowo Menelisik Islam Hadap Barat dan Timur di Suriname

Femi Diah - detikTravel
Jumat, 21 Agu 2020 07:11 WIB
Penulis dan penjelajah Agustinus Wibowo
Foto: (dok. Agustinus Wibowo)
Jakarta -

Setelah menjelajahi negara konflik, Agustinus Wibowo mencari nasionalisme diaspora. Menuju Belanda, malah jalannya terbuka ke Suriname dan menemukan Islam hadap timur dan barat, seperti apa?

Penulis buku-buku traveling Agustinus sedang menyiapkan buku keempatnya. Dia memutuskan untuk menelusuri keturunan orang-orang Jawa yang diangkut dari Batavia (Jakarta) ke Suriname, dengan angkatan pertama pada 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma. Dalam buku itu disebut, sebanyak 94 orang Jawa yang merupakan kuli kontrak dipindah ke Suriname.

Masihkan keturunan orang Jawa di Suriname itu memegang tegus kejawannya? Atau sudah habis nuansa Jawanya? Agus mencari tahu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semula dapat kerja sama dengan Komite Buku Nasional untuk menyelesaikan buku. Aku mengajukan proyek belajar tentang nasionalisme diaspora. Yang aku ajukan adalah Belanda. Tapi, aku juga kasih kemungkinan pergi ke Suriname," kata Agus, sapaan karib Agustinus Wibowo, dalam perbincangan dengan detikTravel.

Akhirnya Agus lolos dan mendapatkan kesempatan mencari 'nasionalisme diaspora' itu dengan menuju Suriname. Tiket itu bukannya tanpa masalah. Agus tak memiliki cukup bekal soal Suriname.

ADVERTISEMENT

Dia kesulitan mencari referensi tentang Suriname. Pria asal Lumajang, Jawa Timur itu cuma berbekal buku dari Parsudi Suparlan: The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society.

Agus tak patah semangat. Dia menganggapnya sebagai tantangan yang kemudian malah membawanya ke Belanda untuk melengkapi referensi sebelum terbang ke Suriname.

Pada November 2016, Agus menuju Belanda. Dari beberapa kenalan, dia berjumpa dengan pemimpin komunitas Jawa Suriname yang ada di Belanda, Harriette Mingoen.

"Dia pemimpin masyarakat Jawa Suriname dan kebetulan warga negara Belanda. Beliau mengundang saya ke rumahnya. Rupanya, dia lama di Indonesia makanya kami bisa ngobrol dalam bahasa Indonesia dan Inggris," ujar Agus.

Nah, dari Harriette itulah Agus mendapatkan informasi kalau di Suriname ada fenomena menarik. Yakni, bahwa sebagian orang Jawa di Suriname saat menunaikan ibadah sholat menghadap ke barat, seperti penduduk Indonesia.

Masjid Islam madep ngetan dan madep ngulon berdampinganMasjid Islam madep ngetan dan madep ngulon di Surinamen yang berdampingan (dok. Agustinus Wibowo)

Padahal, dengan letak Suriname di benua Amerika, semestinya mereka melakukan sholat dengan menghadapi timur, karena kiblat ada di sebelah timur Suriname. Mereka menyebut kelompok itu sebagai Islam madep ngulon (Islam menghadap barat).

Nah, fakta itu yang membetot perhatian Agus. Apalagi, seharusnya di zaman digital dengan kompas ada di genggaman, menentukan arah kiblat bukanlah persoalan sulit.

"Setelah saya mencari tahu Islam madep ngulon itu karena nenek moyangnya di Jawa, sampai di Suriname waktu itu mereka meneruskan apa yang disebut sebagai tradisi. Tidak ada tradisi yang diubah. Mereka adalah kelompok yang pertama, semuanya ngadep ngulon, bawaan dari Jawa," ujar Agus.

Barulah sekitar abad ke-20 atau tahun 1930-an, sebagian Jawa Suriname sudah menghadap ke timur saat menjalankan ibadah sholat. Mereka menyebut kelompok itu Islam madep ngetan (Islam menghadap timur).

"Waktu itu berdatangan orang-orang yang memahami bahwa sholat itu harus menghadap ke kiblat dan kiblat itu ada di timur, di Mekah," ujar Agus.

Munculnya Islam madep ngetan itu juga bermula setelah muncul gerakan pelajar yang kembali dari Arab Saudi ke Indonesia pada tahun 1911. Mereka menyebarkan ajaran untuk memurnikan agama dari unsur-unsur apa pun yang bukan Islam, termasuk budaya lokal.

Kendati muncul komunitas baru itu, Islam madep ngulon tetap bersikukuh menjalankan ibadah dengan cara mereka.

"Sampai sekarang yang madep ngulon masih mayoritas," kata Agus.

Bagi Agus, situasi itu bukan sekadar soal arah kiblat. Tapi, ada persoalan lebih mendalam yang dipertahankan oleh orang Jawa Suriname yang bersikukuh meneruskan sholat madep ngulon.

"Ini konflik pertentangan, ada story. Itu yang membuat saya memutuskan saya ke Suriname. Saya tertarik makna identitas, berkonflik identitas dan semua itu ada di Jawa Suriname," kata Agus.

Islam madep ngetan yang kental buadaya JawaIslam madep ngetan yang kental buadaya Jawa Foto: dok. Agustinus Wibowo

Apalagi, buku tentang Jawa Suriname, sudah tidak ada lagi sejak buku yang dibuat Parsudi Suparlan, yang menjadi referensi awal Agustinus. Buku itu terbit pada 1774 sebagai hasil perjalanannya ke Suriname pada tahun 1973. Artinya, buku tentang Jawa Suriname terakhir ditulis oleh orang Indonesia 47 tahun lalu.

Agustinus bilang dia didukung betul oleh Harriat. Sebelum terbang ke Suriname, dia telah mengantongi daftar orang-orang yang akan ditemuinya.

Setelah persiapan matang, Agus pun menuju Suriname. Dia cuma memiliki waktu dua bulan untuk melakukan riset di sana.

Pertama-tama Agus menjumpai bentang alam di Suriname amat Indonesia. Orang-orang Jawa yang ditemuinya juga masih menjalankan ritual Jawa yang bahkan di tanah kelahirannya di Lumajang mulai tak diterapkan lagi. Begitu pula dengan nama-nama warga jawa Suriname, kental sekali dengan nama Jawa. Pun, hidangan yang disuguhkan kepadanya.

Nah, soal Islam madep ngulon dan madep ngetan yang dirisetnya, Agus menemukan kelompok yang betul-betul terpisah. Baik, masjidnya, jemaah, dan ritualnya.

Agus bilang pemeluk Islam madep ngulon masih kuat menjalankan tradisi Jawa.

"Ini Islam campur kejawen. Mereka menjalankan sholat namun juga teguh melaksanakan selametan, tahlilan. Juga bersih desa," kata Agus.

Sementara itu, Islam menghadap timur di Suriname bukan cuma mengubah arah kiblat mereka mempunyai pandangan tradisi Jawa sebagai bid'ah. Pemeluk agama ini tidak diperbolehkan menjalankan ritual Jawa kalau sudah mengubah kiblat.

Sekolah Islam madep ngetanSekolah Islam madep ngetan di Suriname Foto: dok. Agustinus Wibowo

"Itu yang membuat kenapa banyak orang tidak semudah itu mengubah arah kiblat. Sebab, mengubah arah kiblat tidak sekadar mengubah arah, namun mengubah tradisi. Padahal, tradisi, buat mereka, bukan sekadar tradisi, namun juga sama seperti bagi orang Islam menghadap timur, tradisi buat yang madep ngulon itu soal akhirat," Agus menjelaskan.

"Mereka khawatir akan mempersulit leluhur mereka di kehidupan berikutnya andai tidak mengelar slametan dengan benar," kata Agus.

Islam Javanisme >>

Selama di Suriname, Agus malah tak cuma menemukan islam madep ngulon dan Islam madep ngetan, namun dia mendapati agama Javanisme.

Agus mengatakan orang-orang Suriname terkejut saat dia bilang bahwa di Indonesia tidak mengenal agama Javanisme. Di Suriname agama Javanisme itu muncul dari orang-orang yang ingin membersihkan agama mereka dari unsur-unsur Islam. Gerakan itu muncul dan semakin kuat di tahun 2000.

Dalam prosesnya, federasi agama Jawanisme mendapatkan pengakuan dari pemerintah Suriname. Jadi, secara resmi Javanisme menjadi salah satu agama yang diakui negara. Pemuka agama dapat gaji dari pemerintah. Bahkan, mereka mempunyai hak untuk mendapatkan hari libur nasional, tapi berantem sendiri dan belum mencapai mufakat sampai sekarang.

Perwakilan JavanismePerwakilan Javanisme dalam forum keagamaan di Suriname Foto: dok. Agustinus Wibowo

Kendati memasuki tiga komunitas Jawa yang amat berbeda itu, Agus tak merasakan kesulitan berarti. Dia bisa masuk ke dalam tiga komunitas berbeda itu tanpa canggung.

"Itu gunanya sebagai traveler. Justru karena kita tidak terlibat konflik mereka, aku bisa diterima di tiga golongan itu. Buat mereka sangat sulit, Islam madep ngetan tidak mungkin untuk masuk ke masjid Islam madep ngulon. Bahkan, guru-guru dakwah dari Indonesia enggak banyak yang berani masuk masjid yang madep ngulon," ujar Agus.

Secara keseluruhan, Suriname mengakui cukup banyak agama. Selian Islam madep ngulon, Islam madep ngetan, Javanisme, Kristen, Hindu, ada pula Rasta.

Seperti perjalanan yang sudah-sudah, Agus juga bakal menuangkan penjelajahan dari Belanda dan Suriname itu ke dalam sebuah buku.

"Ini bagian dari riset serial buku memahami kenusantaraan dari berbagai sisi. Serial yang pertama akan muncul tentang garis batas, aku pergi ke Papua Nugini dan kemudian tentang diaspora Belanda," kata Agus.

Halaman 2 dari 2
(fem/fem)

Hide Ads