Wisata Nusa Penida di Bali termasuk yang mati kutu karena pandemi virus Corona. Warga kembali menekuni budidaya rumput laut untuk menyelamatkan isi dompet.
Keelokan Nusa Penida telah memikat turis domestik dan mancanegara untuk berdatangan. Broken Sea Pasir Uwug, rumah pohon batu Molenteng, air terjun Peguyangan, Angle's Billabong, dan Pasih Andus cuma sebagian tempat wisata yang menjadi primadona turis.
Keelokan Nusa Penida itu membuat muncul hotel, restoran, dan cafe di kawasan tersebut. Warga pun mengisi bidang kerja yang dibutuhkan industri itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Situasi itu berbeda pada 1980-an. Waktu itu, warga Nusa Penida mayoritas merupakan petani rumput laut. Hingga perubahan terjadi sekitar setahun lalu.
"Ketika saya pertama ke sini pada 2010, kalian bisa melihat dan mencium aroma rumput laut yang dikeringkan di sepanjang jalan," kata Valery Senyk, asisten manajer Batu Karang Resort, yang merupakan hotel mewah pertama di Nusa Penida, seperti dikutip Al Jazeera.
"Pada 2016, satu-satunya budidaya yang tersisa berada di perbatasan yang membagi pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Pada 2019, tidak ada yang tersisa sama sekali," dia menambahkan.
Akhir masa budidaya rumput laut itu seiring dengan meledaknya jumlah wisatawan di Nusa Penida. Menurut Badan Statistik jumlah turis meroket dari 7 juta di tahun 2010 menjadi 16 juta pada 2019. Ratusan turis China dan surfer Australia berkunjung di kawasan itu setiap harinya.
Tapi, awal tahun 2020 saat virus Corona mewabah, Nusa Penida kembali ke masa rumput laut berjaya. Warga yang sebelumnya menjadi pekerja hotel, restoran, cafe, dan guide wisata kembali bertani rumput laut.
Salah satu yang beralih menjadi petani rumput laut adalah Kasumba. Sebelumnya, dia karyawan di bidang pemasaran.
Kasumba, seperti petani rumput laut di Nusa Penida lain, mulai terbiasa dengan bertelanjang kaki, berada di pantai seharian, menanam rumput laut, dan memanennya saat masanya tiba.
"Nenek saya merupakan petani rumput laut, namun saya enggak pernah melakukannya karena saya belajar akuntansi di universitas," kata Kasumba.
![]() |
"Ini sungguh butuh kerja keras namun saya beruntung bisa melakukannya saat ini. Tidak ada pekerjaan lain di sini saat ini. Tanpa ini, mungkin saya enggak mempunyai uang untuk makan," dia menambahkan.
Kasumba bilang dia menikmati pekerjaan di luar ruangan itu dan bekerja bersama warga yang lain di lahan yang sama. Dia juga berlapang dada dengan upah yang tidak terlalu besar.
"Kami berlima menerima bayaran USD 200 hingga USD 300 setiap bulan," ujar Kasumba.
Tetanggnya, Kadek juga bilang menerima upah yang jauh lebih sedikit sebagai petani rumput laut ketimbang saat menjadi bagian reservasi Tamarind Resort Nusa Lembongan.
"Sebelumnya saya menghasilkan USD 200 per bulan dan berpesta setiap akhir pekan dengan teman-teman saya. Sekarang saya harus bekerja keras selama tujuh haris dalam sepekan dan cuma dibayar USD 50 per bulan. Saya sudah enggak minum bir sejak Maret," kata Kadek.
Beda lagi dengan Ari pemilik toko souvenir. Dia bisa mendapatkan keuntungan USD 5 per lembar T-shirt saat wisatawan masih memenuhi Nusa Penida. Kini, dia dibayar 33 USD setiap bulan untuk merawat sebidang kecil lahan rumput laut.
"Bulan lalu, mereka membayar kami 13.000 rupiah untuk 1 kg rumput laut kering. Bulan ini, mereka cuma membayar Rp 10.000 rupiah," kata Ari.
Permintaan rumput laut itu datang dari Vietnam dan China. Negara itu menjadikan rumput laut sebagai bahan makanan. Ari menyebut persaingan antarpetani di Nusa Penida dan sulitnya mengirim pasokan ke negara yang membutuhkan disebut menjadi alasan merosotnya nilai jual rumput laut.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum