Demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berimbas kepada terbakarnya fasilitas publik di Jakarta, termasuk halte Bundaran HI. Netizen mengingatkan ada kebakaran lebih besar, kebakaran hutan.
Halte TransJakarta Bundaran HI rusak parah. Beberapa bagian atap hilang, dinding-dinding copot. Sisa-sisa kebakaran seperti arang plastik dan potongan besi pagar halte berserakan di sekitar lokasi. Ada beberapa sapu dan kaleng cat ditumpuk di satu titik.
Kini, pintu masuk atau akses dari Halte TransJ menuju MRT Bundaran HI ditutupi pagar besi. Tidak tampak ada Bus TransJ yang melintas di koridor ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Halte TransJakatrta itu cukup spesial karena merupakan halte percontohan moda transportasi yang terintegrasi di DKI Jakarta. Di halte ini, traveler dari TransJakarta bisa mengakses MRT tanpa perlu menyeberangi jalan menuju halte.
Netizen pun gaduh membicarakan halte HI TransJakarta itu. Sebagian menyayangkan halte Bundaran HI, yang juga kerap dijadikan spot foto oleh traveler itu, dan halte Transjakarta lain terbakar.
Tapi, warganet lainnya mengingatkan halte TransJakarta yang dibakar itu tak seberapa dibandingkan kebakaran hutan yang disengaja untuk keperluan pengusaha.
@kingrands*** : Halte dibakar aja marah, hutan dibakar malah ramah.
@arman_dh*** : Pembakar amatir merusak halte untuk protes. Pembakar profesional membakar hutan untuk sawit.
@edelweisba*** : Hutan dan Gunung dirusak dan digunduli habis oleh penguasa semuanya hanya terdiam. Halte dirusak dan dibakar ramenya minta ampun. Ck!
![]() |
Sebagian netizen mengingatkan bahwa tindakan itu sama-sama tidak bisa dibenarkan. Cuitan itu tidak bisa dibandingkan satu sama lain.
@fikr*** : Pemikiran bahwa : "Dari sekian banyak pendemo yang jadi korban kalian kok malah peduli sama halte" atau "giliran halte dibakar bersuara, pas hutan dibakar kok diem aja?" adalah logical fallacy paling kacau yang akan memecah belah kita. Ini itu bukan soal siapa yang lebih salah.
Dikutip dari BBC, lembaga pemantau lingkungan, Greenpeace, menyebut setidaknya 64.000 hektare hutan di Indonesia telah terbakar sampai Juli 2020. Meski begitu, angka itu lebih kecil daripada luas area terdampak pada tahun 2019. Memang, sebagian kebakaran hutan disebabkan oleh cuaca, namun tidak sedikit yang sengaja dibakar untuk membuka lahan untuk dijadikan usaha lain.
Kalimantan Tengah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan pada Juli, tepat setelah 700 titik api terdeteksi di provinsi itu. Setidaknya, lima pemerintah provinsi lain, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, juga menetapkan status siaga serupa.
Sementara itu, pemerintah pusat memotong anggaran penanganan karhutla. Alokasi anggaran dari sektor ini diklaim akan dialihkan untuk mengatasi pandemi COVID-19.
Dalam Omnimbus Law UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober itu juga dinilai bakal berdampak terhadap kerusakan hutan, lingkungan, dan membahayakan masyarakat. Beberapa poin yang disorot terkait potensi kerusakan hutan adalah perolehan izin usaha di kawasan hutan dipermudah, termasuk kawasan hutan lindung.
Yakni, penghapusan pasal kewajiban mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan lebih dari dua dekade ini. Dalam Pasal 18 Omnibus Law, juga telah ditambahkan satu ayat penegasan yang berbunyi:
"Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, termasuk pada wilayah yang terdapat Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dengan PP"
Kewenangan dan pengambilan keputusan semakin terpusat kepada pemerintah pusat. Keduanya berpotensi meningkatkan alih guna dan eksploitasi lahan yang berujung kerusakan hutan. Selain itu, berpotensi semakin meminggirkan masyarakat adat yang bertempat tinggal di daerah hutan.
(fem/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum