Overtourism jadi momok dunia pariwisata pada tahun 2019. Destinasi di seluruh dunia, dari Machu Picchu hingga kanal Venesia merasa gerah soal banyaknya turis.
Diberitakan CNN, pandemi Corona yang tak terprediksi membuyarkan perencanaan, prediksi, dan proyeksi berbagai destinasi dunia. Ketiadaan turis karena terkunci di dalam rumah juga membuat destinasi ini terguncang.
Bagaimana tanggapan dari berbagai destinasi dunia itu? Apakah overtourism benar-benar berakhir untuk selamanya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Dubrovnik, Kroasia
Kota ini mengalami lonjakan jumlah turis terbesar dalam beberapa tahun terakhir karena serial TV Game of Thrones. Tak hanya wisatawan yang jalan-jalan lewat darat juga udara, kapal pesiar besar pun datang silih berganti di akhir pekan membawa ribuan penumpang.
Pemerintah Dubrovnik berjanji mengendalikan situasi itu karena semakin padat. Peraturan baru diberlakukan pada tahun 2019 untuk membatasi jumlah kapal pesiar di pelabuhan lama kota hanya menjadi dua kapal saja, ini hasil kemitraan dengan Cruise Line International Association (CLIA).
Larangan baru terkait restoran luar ruangan juga diusulkan, dan 80% toko suvenir kota ditutup. Saat 2020 dimulai, para pejabat mempertanyakan apakah aturan baru semacam itu akan berdampak.
![]() |
Kemudian pada bulan Maret, pandemi melanda Eropa. Kroasia menutup perbatasannya dan turis berhenti datang.
Ketika Dubrovnik mengangkat lockdown di awal musim panas dan pariwisata secara tentatif dimulai kembali, para turis yang kembali ke Dubrovnik kebanyakan adalah orang Kroasia yang sedang menginap. Baru setelah penerbangan dimulai lagi di musim panas, turis internasional mulai berdatangan kembali.
Tetapi itu tidak bertahan lama, jumlah infeksi COVID-19 mulai meningkat lagi dan pariwisata menurun lagi.
"Inggris menempatkan kami di daftar merah, dan kemudian jumlah turis turun lagi. Maskapai penerbangan hanya memotong satu per satu jumlah penerbangannya," kata Wakil Wali Kota Dubrovnik, Jelka TepΕ‘iΔ kepada CNN Travel.
"Tanpa penerbangan dan tanpa pasar Inggris, Dubrovnik memiliki angka turis yang sangat rendah," imbuh dia.
Dubrovnik ingin menjelaskan kepada pengunjung di masa depan bahwa kota ini akan menangani overtourism dan virus Corona dengan serius.
2. Barcelona, Spanyol
Kota Catalan, Barcelona, memang sangat menarik dengan lanskap menara Gaudinya. Kota pesisir ini juga memiliki pantai berpasir yang indah tempat nongkrong yang sangat terkenal dari dahulu.
Saat ini, pariwisata jadi penyumbang antara 12-14% dari PDB kota dan 9% dari keseluruhan lapangan kerja, kata Xavier MarcΓ©, anggota Dewan Kota Barcelona untuk Industri Pariwisata dan Kreatif.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, pejabat kota dan penduduk setempat, yang lelah oleh overtourism, mulai memeriksa kembali ketergantungan pada bisnis ini.
Pandemi ini semakin memperkuat pentingnya menciptakan ruang di pusat kota Barcelona yang dapat dinikmati oleh penduduk setempat maupun wisatawan, kata MarcΓ© kepada CNN Travel.
![]() |
Restoran dan bisnis di Ciutat Vella Barcelona terkena dampak pandemi secara signifikan. Sebelum COVID-19, Barcelona telah memperkenalkan serangkaian tindakan untuk meredam overtourism.
Kota itu membatasi sewa liburan, memberlakukan pajak pariwisata, dan mendorong para pelancong untuk mengunjungi destinasi di luar kota tua Barcelona.
Menyusul berakhirnya lockdown, Barcelona hanya dikunjungi sedikit pelancong. Spanyol ada dalam daftar merah negara lain.
Pada September, pariwisata internasional turun 77%. Saat ini, kota itu, seperti kota lain di Eropa, sedang berjuang untuk menghentikan lonjakan baru kasus COVID-19, dan jam malam masih diberlakukan.
MarcΓ© mengatakan dia tidak khawatir tentang pariwisata yang gagal pulih di masa depan, sembari menekankan pentingnya menghindari jebakan di masa lalu.
3. Machu Picchu, Peru
Benteng Inca, Machu Picchu, jadi destinasi impian sebagian besar traveler. Pemandangan keajaiban arkeologi yang dibingkai oleh pegunungan hijau adalah alasannya.
Negara Amerika Selatan itu dikunci pada 15 Maret dan berlangsung hingga Juni. Di musim panas, diumumkan bahwa Machu Picchu akan dibuka untuk turis domestik tapi gagal karena kasus COVID-19 di Peru meningkat.
Beberapa bulan kemudian, Machu Picchu akan dibuka kembali bagi semua turis pada 1 November, bertepatan dengan dimulainya kembali penerbangan internasional.
![]() |
Pada Januari 2019, kebijakan tiket yang ketat diberlakukan di Machu Picchu untuk mengontrol akses ke benteng sebagai tanggapan atas masalah overtourism.
Sejak itu, wisatawan harus memesan tiket terlebih dahulu yang berlaku hanya empat jam. Di bawah sistem ini, hanya 5.000 orang yang menyelesaikan perjalanan per hari.
Saat Machu Picchu dibuka kembali, jumlah ini akan dipotong lebih jauh untuk memastikan adanya jaga jarak. Hanya akan ada 75 orang yang diizinkan di Machu Picchu pada satu waktu.
Jumlah grup hanya akan menjadi maksimal tujuh orang, ditambah seorang pemandu, jumlah turis akan dikurangi dari 5.000 menjadi hanya 675 orang per hari.
4. Venesia, Italia
Venesia adalah destinasi yang paling sering dikaitkan dengan overtourism. Kunjungan terlalu besar ke kota Italia ini telah membuat warganya gerah.
Selama dekade terakhir, penduduk setempat memprotes banyaknya kapal pesiar di laguna kota. Berbagai aturan baru dirancang untuk menangani masuknya pengunjung berlebih dan telah diperkenalkan selama bertahun-tahun.
Di dalamnya ada larangan hotel baru dan tempat makanan cepat saji di pusat kota. Biaya akses yang mahal untuk para turis harian pada tanggal-tanggal populer telah ditetapkan dan akan diluncurkan pada Juli 2020, tetapi akhirnya ditunda.
Di atas kesengsaraan overtourism, tahun lalu Venesia juga berjuang melawan bencana banjir. Italia Utara menjadi salah satu kawasan Eropa pertama yang merasakan beban COVID-19 pada akhir Februari.
Venesia terkunci dan mulai berbulan-bulan tanpa turis. Ketika perbatasan internasional dibuka kembali di musim panas, jumlah pengunjung tidak sebanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
![]() |
Bagi sebagian penduduk setempat, itu adalah pemandangan yang aneh dari apa yang mereka impikan selama bertahun-tahun.
"Kehidupan sehari-hari jauh lebih menyenangkan tanpa kemacetan yang diciptakan oleh kerumunan wisatawan yang datang dalam kelompok besar," kata Venetian Jane da Mosto, salah satu pendiri dan direktur eksekutif di We Are Here Venice, sebuah asosiasi nirlaba yang telah berkampanye selama beberapa tahun untuk merebut kembali Venesia bagi penduduk setempat.
Seperti di Dubrovnik, kapal pesiar menjadi topik yang diperdebatkan saat industri ditutup.
Sebelum COVID-19, diperkirakan adanya 32.000 penumpang kapal pesiar mengunjungi Venesia setiap hari. Sedikit wisatawan memperlihatkan bangunan kota dan perairan dengan sebenarnya.
"Tapi itu harus dibayar mahal, banyak orang kehilangan pekerjaan, toko tidak menjual banyak barang dagangannya dan sektor budaya telah terpengaruh secara drastis," tambah Venetian.
Selanjutnya>>> Pariwisata akan bangkit kembali
Pandangan ahli: pariwisata akan bangkit kembali
Banyak destinasi lain, seperti Amsterdam dan Praha hingga, Teluk Maya di Thailand dan pantai-pantai di Bali, Indonesia juga menderita akibat terlalu banyak turis dalam beberapa tahun terakhir.
Sekarang, mereka juga menderita akibat kurangnya pengunjung.
Dan sementara overtourism mungkin telah mendatangkan malapetaka pada destinasi, fenomena tersebut juga mengikuti beberapa pola yang dapat diprediksi. Sebuah destinasi menjadi populer, orang berbondong-bondong ke sana, dan destinasi tersebut berjuang untuk mengatasi dampaknya.
Kata Tony Johnston, kepala pariwisata di Althone Institute of Technology di Irlandia, membuat perencanaan untuk masa depan menjadi sangat sulit.
"Pariwisata adalah industri yang mengandalkan model pertumbuhan yang sangat stabil dan dapat diprediksi. Dan itu baru saja dihapus sepenuhnya," katanya kepada CNN Travel.
"Tidak ada yang tahu bagaimana enam bulan, 12 bulan atau bahkan masa depan jangka panjang akan terlihat. Jadi sangat sulit bagi pembuat kebijakan untuk merencanakan, dan sangat sulit bagi sisi komersial industri untuk merencanakan," imbuh dia.
Meski demikian, akan ada beberapa turis yang tidak bisa melakukan perjalanan lagi, baik karena masalah kesehatan atau pertimbangan jejak karbon mereka.
Ada alasan mengapa tujuan wisata ini selalu dikerubungi turis. Itu tidak mungkin berubah secara permanen, bahkan jika angka menunjukkan jumlahnya stabil dalam beberapa saat.
"Destinasi impian akan menjadi salah satu hal yang merangsang pemulihan, yang pasti, orang akan ingin segera melakukan sesuatu, begitu mereka memiliki kesempatan untuk melakukannya," ujar Tony.
"Industri pariwisata sangat tidak stabil, tetapi sangat, sangat tangguh, dan sangat mudah beradaptasi sekalipun dengan overtourism," tambahnya.
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!