Jatuh Bangun Pilot Sebelum Bisa Terbang Bersama Maskapai

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Jatuh Bangun Pilot Sebelum Bisa Terbang Bersama Maskapai

Putu Intan - detikTravel
Rabu, 18 Nov 2020 05:03 WIB
Pilot dan awak kabin Citilink beruntung. Di tengah banyaknya maskapai yang mem-PHK karyawan, mereka masih dipertahankan untuk bekerja.
Pilot dan co pilot Citilink. (Foto: Rifkianto Nugroho)
Jakarta -

Perjuangan panjang dan berliku dilalui setiap pilot sebelum terbang. Mereka bahkan harus menunggu bertahun-tahun sebelum mendapatkan pekerjaan di maskapai.

Mendengar kata pilot, banyak orang yang langsung takjub dengan profesi yang satu ini. Mengemudikan pesawat terbang dan dapat berkelana kemanapun, seolah menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang pilot.

Namun sebelum dapat menerbangkan pesawat milik maskapai, seorang pilot harus melewati proses yang tak mudah. Hal itu diungkapkan pilot dan co-pilot Citilink, Captain Ikram dan Diana kepada detikTravel beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Captain Ikram misalnya. Setelah menempuh pendidikan di sekolah penerbangan, ia sempat bekerja di salah satu maskapai di Indonesia. Sayang, baru bekerja sebentar, maskapai itu menghentikan operasinya.

"Setelah itu harus berjuang lagi. Mencari maskapai, berusaha segala macam. Ketika kita melamar di satu maskapai, dipanggilnya baru setahun kemudian, 6 bulan kemudian. Saat itu kita jangan sampai lupa untuk mereview pengetahuan penerbangan kita. Karena begitu nanti dipanggil, kita susah siap," kata dia.

ADVERTISEMENT
Pilot dan awak kabin Citilink beruntung. Di tengah banyaknya maskapai yang mem-PHK karyawan, mereka masih dipertahankan untuk bekerja.Pilot Citilink, Ikrammudin. Foto: Rifkianto Nugroho

Setelah akhirnya mendapatkan panggilan dari Citilink pun, ia masih harus menjalani berbagai proses, termasuk tes sebelum akhirnya diterima bekerja.

Di sisi lain, Diana yang saat ini masih menjadi co pilot rupanya telah memulai perjalanan di dunia penerbangan sejak tahun 1994. Kala itu ia memutuskan masuk sekolah penerbangan setelah sebelumnya sempat kuliah satu semester di jurusan Teknik Arsitektur.

"Saya masuk sekolah penerbangan tahun 1994. Saat itu masih ada Juanda Flying School, sekarang Juanda Flying School sudah tutup di Surabaya," ujarnya.

"Lulus 1997, pertama kali krismon (krisis moneter), kami baru fresh graduate (lulus), saat itu perekonomian Indonesia sedang turun. Perusahaan penerbangan pada gulung tikar. Otomatis kami sebagai fresh graduate (lulusan baru) tidak ada yang mau terima," ia bercerita.

Diana bercerita, kondisi saat itu begitu sulit. Ia yang berasal dari keluarga TNI harus bersusah payah lulus dengan uang sekolah yang tinggi yakni sekitar Rp 50 juta. Uang sudah habis, tapi setelah lulus tak bisa langsung bekerja.

Akhirnya ia pun memutuskan untuk lebih dulu menikah dengan seorang TNI. Selama 10 tahun, Diana mengubur mimpinya menjadi seorang pilot.

Selanjutnya: kesempatan kedua

Sampai akhirnya pada 2007, seorang teman mengajaknya bergabung ke dunia penerbangan. Kala itu Diana berhasil masuk sebagai instruktur penerbangan.

"10 tahun saya tidak buka buku sama sekali. Makanya ketika ada teman saya yang kembali mengajak saya terbang, yang terbaik buat saya pada saat itu adalah menjadi flight instructor (instruktur penerbangan). Jadi ketika itu, otomatis saya mau tidak mau mereview pelajaran dasar pada saat di flying school. Menjadi flight instructor saya harus training dulu, belajar lagi," ia mengungkapkan.

Barulah pada 2013 ia akhirnya dapat menjadi pilot. Diana merupakan salah satu contoh sosok perempuan yang pantang menyerah menggapai mimpinya menjadi pilot meskipun usianya tak lagi muda.

"Butuh perjuangan yang panjang ya. Karena karir saya tidak seperti yang lain, teenager (remaja) sudah langsung terbang."

"Saya mulai dengan status sebagai istri seorang prajurit. Kemudian saya punya anak 3, saya harus mulai lagi dari nol yang ibaratnya semua harus sinergi kan. Anak harus oke, suami harus oke, organisasi yang lain juga harus oke," ia mengungkapkan.

Pilot dan awak kabin Citilink beruntung. Di tengah banyaknya maskapai yang mem-PHK karyawan, mereka masih dipertahankan untuk bekerja.Co pilot Citilink, Diana. Foto: Rifkianto Nugroho

Namun ia bersyukur di maskapai Citilink, ia tidak mendapatkan diskriminasi, termasuk dalam hal gender.

"Secara umum tidak ada perbedaan karena profesionalisme Citilink bagus. Kalau untuk libur saat PMS pasti dapat. Juga cuti hamil, sesuai aturan ketenagakerjaan," ia menjelaskan.

Kesabaran kedua pilot ini juga kembali diuji pada 2020. Pandemi Corona telah memaksa mereka untuk terbang lebih sedikit daripada kondisi normal. Namun kondisi ini masih lebih baik ketimbang nasib maskapai lain yang sampai mem-PHK karyawannya.

(pin/fem)

Hide Ads