Keinginan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha di dunia, bakal terbentur aturan. Hal ini tidak sesuai dengan UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Pamong Budaya Ahli Madya, Balai Konservasi Borobudur (BKB), Tri Hartono mengatakan, dalam UU No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya disebutkan ada jenis cagar budaya yaitu living monument (monumen hidup) dan dead monument (monumen mati).
Untuk living monument, merupakan bangunan yang saat ditemukan masih digunakan pemeluknya. Sedangkan dead monument, merupakan bangunan-bangunan yang saat ditemukan sudah tidak digunakan oleh pemeluknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam UU disebutkan kita punya dua jenis cagar budaya yaitu living monument dan dead monument. Kalau living monument adalah bangunan yang pada ditemukan masih digunakan oleh pemeluknya. Terus kalau dead monument adalah bangunan-bangunan yang pada waktu ditemukan itu sudah tidak digunakan oleh pemeluknya. Nah itu, dalam pemanfaatannya dalam UU sudah diarahkan berbeda," kata Tri kepada wartawan di sela-sela meninjau temuan batu kuno di dekat Candi Pawon, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (2/2/2021).
Tri Hartono yang juga Koordinator Perlindungan BKB menjelaskan, sesuai dengan UU No 11 tahun 2010 pada pasal 87 menyebutkan, cagar budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Kemudian, dalam pemanfaatan cagar budaya tersebut dilakukan dengan izin pemerintah.
"Kalau UU yang baru 11 tahun 2010 boleh digunakan untuk kepentingan tertentu, keagamaan tertentu umpamanya untuk upacara-upacara keagamaan seperti kalau waisak, upacara apa itu boleh, tapi kalau tiap hari untuk pemujaan UU-nya tidak berbicara begitu," ujarnya.
Candi Borobudur, kata Tri, merupakan dead monument karena pada ditemukan sudah tidak difungsikan oleh pemeluknya. Untuk itu, sesuai aturan boleh dimanfaatkan terbatas, upacara keagamaan. Kemudian, jika akan digunakan sebagai pusat ibadah umat Buddha, harus mengubah UU terlebih dahulu.
"Kalau Borobudur itu termasuk dead monument karena pada waktu ditemukan sudah tidak difungsikan oleh pemeluknya. Itu yang jelas catatan dan dalam aturannya boleh dimanfaatkan untuk terbatas. Terbatas itu, upacara keagamaan, apa itu ada peraturannya seperti itu. Jadi, kalau mau difungsikan seperti itu (pusat ibadah), ya UU diubah. Kalau nggak melanggar UU kan," tutur Tri yang mantan Kepala BKB, itu.
"Kalau difungsikan sebagaimana fungsi semula, kalau berdasarkan UU nggak bisa itu, sudah pasti, kecuali UU diubah," ujar dia.
Lain halnya saat ditemukan masih digunakan pemeluknya hingga sekarang seperti Masjid Agung Demak maupun Pura Besakih di Bali. Untuk itu, merupakan living monument.
"Umpamanya kayak Masjid Demak, itu digunakan terus sampai sekarang. Itu juga monumen, tapi itu living monument. Pura Besakih di Bali, itu pada waktu ditemukan masih digunakan, itu namanya living monument. Jadi ada perbedaan yang jelas ya, living monument sama dead monument," kata dia.
Sementara itu, Koordinator Pemanfaatan BKB, Yudi Suhartono mengatakan, BKB selalu memfasilitasi pemberian izin untuk waisak maupun kegiatan keagamaan lainnya di Candi Borobudur.
"Selama ini kegiatan waisak, kita fasilitasi. Semua kegiatan keagamaan, kita fasilitasi," katanya.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!