Kudeta militer yang sedang di tengah pandemi makin membuat Myanmar memanas. Pariwisata pun menjerit.
Dilansir dari AFP, Selasa (9/2/2021), telah terjadi pelanggaran hukum dan ancaman kekerasan oleh kelompok-kelompok yang 'menggunakan alasan demokrasi dan hak asasi manusia' di Myanmar setelah kudeta militer.
Puluhan ribu orang berunjuk rasa pada akhir pekan dan berlanjut pekan ini dengan lebih banyak peserta demo hingga aksi mogok kerja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Myanmar Tourism Marketing (MTM) meminta permohonan kepada operator tur luar negeri untuk terus mendukung dan berdiri bersama masyarakat Myanmar. Ada banyak pesan keprihatinan yang diberikan kepada Myanmar.
"Saat ini situasinya masih tidak pasti, tetapi tidak ada kekerasan yang meluas atau kerusuhan sipil. Sebaliknya, orang-orang dari seluruh negeri, termasuk dari industri perhotelan dan pariwisata, telah memprotes dengan damai dan terlibat dalam pembangkangan sipil tanpa kekerasan," begitulah isi siaran pers dari MTM.
Sebelumnya, MTM mempromosikan wisata Myanmar sebagai tujuan pariwisata berkelanjutan selama pandemi Covid-19. Pariwisata Myanmar sempat yakin dengan laju pariwisatanya belakangan ini.
"Dengan melakukan ini, kami berharap dapat menghasilkan pendapatan bagi masyarakat yang tidak hanya bekerja di industri ini secara langsung maupun tidak. Pada saat yang sama menunjukkan kepada pengunjung yang terbaik dari negara ini, orang-orang Myanmar itu sendiri," MTM melanjutkan.
Setelah merebut kekuasaan, militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun dan melarang semua penerbangan baik domestik maupun internasional hingga 31 Mei. Namun, penerbangan domestik dan beberapa penerbangan repatriasi internasional yang membawa pulang warga Myanmar dilanjutkan pada 4 Februari.
"Kudeta ini berdampak serius pada mata pencaharian masa depan semua orang yang bekerja di bidang pariwisata di Myanmar. Menghadapi tantangan ini, MTM akan terus bekerja tanpa lelah dalam mempromosikan Myanmar sebagai tempat yang aman dan menarik untuk dikunjungi," MTM menjelaskan.
Militer sebelumnya telah memerintah Myanmar selama hampir setengah abad. Selama pemerintahan junta militer, perbedaan pendapat dengan tegas dihalangi dan militer sering menggunakan kekuatan 'mematikan', terutama terhadap aksi-aksi protes besar pada tahun 1988 dan 2007.
(bnl/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum