Kondisi sektor pariwisata di Lembang, Kabupaten Bandung Barat kian terpuruk. Pandemi COVID-19 yang terjadi selama hampir setahun belakangan lah yang menjadi penyebabnya.
Bisnis wisata serta hotel yang digeluti para pengusaha pun diibaratkan seperti sedang mengulur kematian saja. Apa alasannya? Tentu sepinya kunjungan wisatawan. Padahal beberapa kali momen libur panjang selalu memunculkan harapan untuk bisa menjadi titik balik kondisi wisata di Lembang.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bandung Barat Eko Suprianto mengatakan bisnis pariwisata saat ini sudah tidak berbicara soal profit melainkan bertahan hidup agar tidak gulung tikar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ibarat mengulur kematian sebetulnya, karena sekarang kita buka itu hanya buat mencari bemasukan biar bisa bertahan hidup," ujar Eko kepada detikcom, Sabtu (27/2/2021).
Apa yang diutarakan Eko bukan pepesan kosong belaka. Dari data yang dimiliki PHRI pada tahun baru 2020 tepatnya bulan Januari occupancy rate hotel di Bandung Barat mencapai 59,8 persen, kemudian di bulan Februari mencapai 55,1 persen dari 10 hotel di wilayah Parongpong dan Lembang.
Persentase okupansi hotel tersebut menurun drastis pada periode yang sama selama pandemi COVID-19 atau tepatnya pada tahun 2021.
Diawali dengan persentase pada bulan Desember atau tepat menjelang tahun baru yang hanya menyentuh angka 27,6 persen. Persentasenya kian melorot memasuki bulan Januari 2021 tatkala occupancy rate-nya hanya 15,6 persen dan bulan Februari 2021 hanya 13,4 persen.
"Dari angka itu kan bisa terlihat dampaknya, okupansinya sangat jauh sekali ketika tahun 2020 dan 2021 setelah pandemi COVID-19," jelasnya.
Demi bisa bertahan agar tidak tenggelam lalu 'mati', para pengusaha hotel terutama melakukan sejumlah upaya. Misalnya memberlakukan promo gila-gilaan yang penting bisa menarik wisatawan lokal untuk menginap.
"Banyak yang sudah melakukan banting harga misalnya dari Rp 500 ribu diturunkan jadi Rp 200 ribu. Memang tidak salah karena itu kan cara untuk bertahan tapi akhirnya malah menimbulkan kondisi yang tidak sehat," terangnya.
Namun langkah yang sudah banyak dilakukan dan pasti ditempuh adalah mengurangi jumlah karyawan dan jam kerjanya. Seperti yang dilakukan dirinya di bisnis penginapan dan wisata, dimana ada pengurangan karyawan yang cukup banyak.
"Saya pribadi sudah 50 persen karyawan yang habis kontrak tidak diperpanjang. Dari 240 karyawan, sekarang tinggal 123 saja. Itupun tidak masuk setiap hari, jadi digilir. Ya biar mengurangi cost operasional," jelasnya.
Eko tak menampik jika kondisi saat.ini berlangsung lebih lama hanya pengusaha yang punya modal besar saja yang bakal bisa bertahan di bisnis pariwisata. Itupun banting tulang bertahan hidup dengan menjual aset pribadi demi menjaga eksistensi.
"Bisa jadi hanya pengusaha yang punya modal besar saja yang survive, kalau kelas melati mungkin banyak yang kalah. Tapi kita tetap punya keyakinan kondisi ini bisa segera pulih dan wisata bangkit lagi," tandasnya.
(sym/sym)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum