Rencana pembangunan bandar antariksa kerja sama dengan SpaceX di Kabupaten Biak Numfor, Papua menjadi polemik. Warga menolak.
LAPAN menyebut SpaceX milik Elon Musk berencana untuk membangun bandar antariksa untuk lepas landas dan mendaratkan pesawat luar angkasa.
LAPAN juga menyampaikan pembangunan bandar antariksa SpaceX masih sebatas pembahasan tahap awal. Pemerintah Indonesia sedang mempelajari proposal lokasi proyek SpaceX.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangan teranyar, LAPAN menyebut pada 2021 ini akan mulai melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) setelah meleset dari rencana awal pada 2020 karena pandemi Covid-19.
Bandar antariksa itu dijadwalkan rampung pada 2024.
Disebut-sebut posisi strategis Biak, Papua yang berada di Samudera Pasifik dan berlokasi di ekuator menjadi alasan kuat Biak dipilih sebagai lokasi bandara antariksa SpaceX.
Pemerintah Indonesia menawarkan Pulau Biak, Papua, kepada CEO Tesla Elon Musk agar dimanfaatkan sebagai landasan peluncuran roket SpaceX.
Wacana itu memicu kegeraman masyarakat Biak, Papua. Warga menilai bandar antariksa itu bakal berdampak negatif dan bisa menghancurkan ekosistem di Pulau Biak. Selain itu, warga khawatir bakal kehilangan tempat tinggal karena harus meninggalkan kampung halaman.
Namun ternyata dalam sejarahnya, pada masa lalu Biak memiliki bandara yang melayani penerbangan internasional dengan rute Biak ke Australia, Tokyo, Papua Nugini, Amsterdam, Los Angeles, Seattle, dan Honolulu.
Pemerintah Belanda dengan bantuan investasi maskapai KLM, pada 14 Juli 1955 mendirikan maskapai penerbangan bernama Nederlands Niew Guinea Luchtvaart Maatschapij dikenal juga sebagai Kroonduif atau De Kroonduif.
Kroonduif merupakan bahasa Belanda untuk burung mambruk. Burung mambruk ini dikenal juga merpati bermahkota yang hanya dijumpai di Papua.
Kroonduif ini juga yang menjadi cikal bakal maskapai Merpati Nusantara, yang saat ini sudah tidak terbang lagi.
Belanda menjadikan Bandara Mokmer sebagai pusat operasional Kroonduif.
Pada awal penerbangannya Kroonduif menggunakan pesawat Lockheed Constellation dengan rute Bandara Mokmer Biak - Sydney.
Adapun untuk rute di wilayah Papua, Kroonduif menggunakan pesawat amfibi atau Sea Beaver yang mampu mendarat di pantai serta danau di pedalaman Papua.
Kemudian, Kroonduif pada 1956 menambah lagi pesawat de Havilland DHC-2 Beaver, untuk melayani penerbangan Biak tujuan Sentani dan Sorong serta kota-kota di Papua Nugini.
Pada 1960, maskapai KLM dari Bandara Mokmer melayani penerbangan Biak-Tokyo-Amsterdam.
Setelah penyerahan Irian Barat ke Indonesia, Bandara Mokmer diubah namanya menjadi Bandara Frans Kaisiepo. Bandara ini memiliki luas 206 hektar dengan landasan pacu 3.570 meter dan lebar landasan 45 meter.
Pada 1996-1998, Garuda Indonesia melayani penerbangan Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles dengan pesawat MD-11. Selain itu, Garuda Indonesia juga melayani rute Jakarta-Denpasar-Biak-Seattle. Namun rute internasional ini berhenti karena krisis ekonomi.
***
Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum