Polemik Glow in The Dark Kebun Raya Bogor Berlanjut, Ada Apa Ya?

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Polemik Glow in The Dark Kebun Raya Bogor Berlanjut, Ada Apa Ya?

M. Sholihin - detikTravel
Jumat, 15 Okt 2021 14:49 WIB
Kebun Raya Bogor dan rencana wisata malam
Foto: M. Solichin/detikcom
Bogor -

Kebun Raya Bogor (KRB) yang kini sudah berusia 204 tahun tetap menjadi magnet bagi wisatawan dan peneliti tumbuhan dari nusantara bahkan mancanegara. Belakangan adanya spot yang dibuat glowing memicu pro dan kontra.

Lahan seluas 87 meter itu kini menjadi rumah bagi 13.684 spesimen tumbuhan konservasi yang terdiri dari 3.423 spesies, 1.257 marga dan 222 suku atau family.

Dalam perkembangannya, pengelola KRB menginisiasi sebuah konsep wisata baru bertema glow Kebun Raya Bogor. Konsep wisata edukasi ini merupakan wisata malam hari dengan objek wisata beberapa taman tematik di kawasan KRB. Di beberapa titik yang menjadi objek glow KRB dipasangi lampu sehingga memberi kesan yang berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Informasi terkait tumbuhan yang dilalui pada trek wisata malam di KRB tersaji dalam ramuan teknologi yang disebut pengelola KRB sebagai bentuk konsep wisata edukasi yang disesuaikam dengan zaman. Konsep ini diharap mampu membangkitkan kepedulian kaum milenial terhadap konservasi dan pengetahuan flora.

Namun belum sempat dibuka untuk umum, wisata malam bertajuk glow malah mendapat kritikan dari 5 mantan kepala Kebun Raya Bogor. Mereka membuat surat terbuka dan meminta wisata malam dibatalkan karena khawatir mengganggu aktivitas hewan malam dan menyalahi konsep konservasi.

ADVERTISEMENT
Kebun Raya Bogor dan rencana wisata malamKebun Raya Bogor dan rencana wisata malam Foto: M. Solichin/detikcom

"Rencana GLOW membuat atraksi sinar lampu di waktu malam, berpotensi merubah keheningan malam Kebun Raya Bogor. Nyala dan kilau lampu dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan hewan dan serangga penyerbuk. Nature Communication melaporkan, penggunaan lampu berlebihan di waktu malam akan mengganggu perilaku dan fisiologi serangga penyerbuk, nokturnal maupun diurnal," bunyi surat terbuka yang dibuat lima mantan kepala KRB.

Adapun 5 mantan kepala Kebun Raya itu yakni, Prof. Dr. Made Sri Prana (1981-198), Prof. Dr. Usep Soetisna (1983-1987), Dr. Ir. Suhirman (1990-1997) Prof. Dr. Dedy Darnaedi (1997-2003) Dr. Irawati (2003-2008). Surat terbuka itu ditujukan kepada Sekretaris Utama - BRIN, Plt. Direktur Kemitraan Riset dan Inovasi-BRIN, Plt. Direktur Pengelolaan Koleksi Ilmiah-BRIN, Plt. Kepala Kantor Pusat Riset Konservasi-BRIN, Direktur Utama Mitra Natura Raya-MNR. Surat ini juga jadi tembusan untuk Kepala BRIN, Wali Kota Bogor dan Ketua DPRD Kota Bogor.

"Dengan demikian, kami sebagai pendahulu yang pernah ikut mengawal, dan mewarnai Kebun Raya berkewajiban menyampaikan hal ini kepada penerus pengelola Kebun Raya yang sekarang mendapat amanah. Apapun pilihannya, apapun kebijakannya, tentu pimpinan yang sedang mengemban amanah yang menentukan sesuai dengan kewenangannya. Namun, kami titipkan untuk tetap konsisten menjaga Marwah Kebun Raya sebagai titipan anak cucu kita," kata 5 mantan Kepala KRB di penghujung surat terbuka.

Sementara itu, CEO PT. Mitra Natura Raya (MNR) selaku pihak swasta pengelola Kebun Raya Bogor Ery Erlangga mengatakan, Glow Kebun Raya Bogor merupakan inovasi komunikasi yang dibangun agar konsep wisata edukasi bisa diterima oleh masyarakat modern terutama kalangan milenial.

"Saya kira kan cara untuk menarik orang untuk datang dan menerima edukasi ketika berwisata ke Kebun Raya Bogor perlu inovasi-inovasi yang disesuaikan dengan zamannya. Kita tidak ada sedikitpun berupaya merusak nilai-nilai konservasi, marwah Kebun Raya Bogor tetap jadi panduan kami," kata Ery baru-baru ini saat ditemui wartawan.

Ery menyebut lampu-lampu yang digunakan di area glow Kebun Raya Bogor merupakan lampu ramah lingkungan yang dampak cahayanya rendah. Sehingga menurutnya, aman untuk pohon karena lampu-lampu juga dipasang di pohon-pohon pilihan.

"Semua lampu yang kita gunakan itu lampu ramah lingkungan, kita gunakan lampu LED, daya panas yang ditimbulkan dari lampu itu jauh dari batas aman, di bawah 40 derajat," kata Ery.

"Dalam pemasangan lampu-lampu itu, kita tidak sembarangan, kita konsultasi dulu ke pihak LIPI, kita juga didampingi (pihak LIPI) ketika pemasangan lampu. Kita juga perhatikan titik pemasangan lampunya dimana, warnanya apa dan lainnya," dia menambahkan.

Dari sisi edukasi, kata Ery, informasi tumbuhan disajikan melalui narasi suara di setiap taman tematik. Di beberapa titik juga disiapkan visual digital yang akan menayangkan informasi tumbuhan.

"Kami mengelola bagaimana orang datang berwisata tetapi pulang membawa pengetahuan, bukan lagi wisata hanya bawa tikar, makan, kemudian pulang," kata Ery.

Di tengah polemik glow, dua mantan menteri, salah satunya adalah pengamat konservasi, Alexander Sonny Keraf dan MS Kaban. Sonny Kerap merupakan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur dimana saat itu, Megawati sebagai Wapresnya. Sementara itu, MS Kaban merupakan mantan menteri Kehutanan di era Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Alexander Sony menyebut, penolakan pengembangan wisata edukasi malam Glow di KRB terjadi lantaran sejumlah kalangan menilai bahwa KRB tidak boleh dikomersialisasikan. Hal tersebut berangkat dari fungsi KRB sebagai pusat konservasi dan penelitian.

Pria yang akrab disapa Sonny itu menilai, apa yang dilakukan Kebun Raya Bogor dengan meluncurkan Glow merupakan sebuah terobosan yang luar biasa. Dalam arti aset-aset milik pemerintah yang selama ini lebih sebagai cost center dilakukan inovasi manajemen dan tata kelola dengan bergandengan tangan dan bermitra dengan pihak swasta untuk menjadi profit center.

"Hampir setiap negara melakukan riset juga mendatangkan manfaat ekonomi. Hal tersebut lantaran biaya konservasi dan riset membutuhkan anggaran yang cukup besar. Hampir setiap negara tidak akan sanggup membiayai riset dan konservasi," kata Sony kepada wartawan, Rabu (14/10/2021).

Terobosan yang dilakukan melalui glow ini ,sambung Sonny, tidak boleh berhenti hanya menjadi riset, tetapi riset harus diramu dan dikelola secara bisnis. Namun, bisnis itu juga harus berkontribusi pada perkembangan riset.

"Karena kalau tidak ada dana dari pemerintah, atau dana dari pemerintah terbatas, ini akan menjadi hambatan bagi penelitian. Sehingga mereka punya keterbatasan juga mengembangkan inovasi-inovasi yang kreatif yang sesungguhnya bisa mereka lakukan," dia menjelaskan.

Menurutnya, hal yang wajar ketika muncul pro dan kontra dari sebuah inovasi. Sehingga, perlu kematangan dalam implementasinya.

"Setiap inovasi/revolusi tata kelola selalu ada resistensi/distraction, penolakan, dan protes. Terobosan yang positif akan hilang hanya karena satu kesalahan kecil. Rencana adanya Glow harus dikaji lebih dalam untuk membuktikan apakah efek lampu yang digunakan, dan suara akan berdampak negatif bagi flora dan fauna," kata Sony.

Model baru penyampaian informasi tanaman, kata Sony, dibutuhkan ketika edukasi konvensional tidak bisa diterima oleh kaum milenial dan masyarakat modern.

"Rencana ini positif karena masyarakat membutuhkan edukasi model baru tentang tanaman, edukasi konvensional tidak bisa dilakukan lagi. Anak muda membutuhkan media yang lebih menarik dan atraktif. Media kreatif dibutuhkan, tetapi harus diukur dampaknya agar tidak menimbulkan dampak yang negatif terhadap binatang malam dan tanaman," kata dia.

Ahli Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Dadan Hindayana, ikut angkat bicara tentang polemik wisata cahaya malam yang dianggap berpotensi mengganggu ekosistem Kebun Raya Bogor. Menurutnya, spektrum cahaya yang ditanggap manusia dengan hewan berbeda.

Dadan menjelaskan visible light yang dapat ditangkap oleh indra manusia ada di kisaran 400 - 700 nm (nanometer).

"Dan diketahui yang sangat berpengaruh nyata terhadap proses fotosintesis tumbuhan ada pada panjang gelombang 450-495 nm untuk warna biru dan 620 - 750 nm warna merah," ujar Dadan.

Kebun Raya Bogor dan rencana wisata malamKebun Raya Bogor dan rencana wisata malam Foto: M. Solichin/detikcom

Selain jenis warna, kata Dadan, juga penting diketahui seberapa besar intensitas cahaya yang digunakan.

"Menarik untuk dikaji jika kita menggunakan spektrum warna selain biru dan merah, misalnya hijau apakah itu akan mempengaruhi proses visiologi tumbuhan di malam hari," Dadan menjelaskan.

Ia menjelaskan ada beberapa serangga yang selain UV juga bisa melihat warna lain, misal Lalat bisa juga melihat hijau, Lebah dapat juga melihat biru dan kuning.

"Spektrum cahaya yang ditanggap manusia, berbeda dengan hewan utamanya serangga. Serangga itu umumnya dapat menangkap cahaya Ultra Violet (UV), spectrum yang manusia tidak bisa melihatnya," kata dia.

Sementara itu, pemerhati lingkungan MS Kaban mengatakan Kebun Raya Bogor (KRB) sangat cocok untuk mengembangkan wisata koservasi. Dengan catatan, beriringan dan seimbang.

"Jadi Kebun Raya Bogor dikenal dunia, mau tidak mau dia akan dikunjungi, sehingga peluang untuk menjadi kawasan wisata konservasi sangat terbuka," katanya.

Mantan Menteri Kehutanan Era Presiden SBY ini menilai KRB dari sudut pandang sebagai lokasi konservasi wisata, menjalankan dua fungsi itu secara beringan dan seimbang.

"Jadi kalau saya lihatnya ini tidak dipertentangkan, tapi dia harus dicari titik keseimbangan karena konservasi dan wisata itu menjaga keseimbangan," kata dia.


Hide Ads