Porter-porter di Grand Bazaar Istanbul, Turki amat perkasa bak Hercules. Meski jadi bagian penting dari sejarah, profesi itu kini nyaris punah.
Hanya beberapa blok dari Grand Bazaar Istanbul, Turki, di sebuah gang gelap, Bayram Yildiz menunggu giliran untuk mengangkat karung besar. Dia satu di antara sedikit porter yang bekerja di pasar terbesar dan tertua di dunia itu.
Karung itu bukan karung kecil, ukurannya besar. Biasanya, sampai dua kali lipat ukuran badannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan satu atau dua lantai yang mereka rayapi. Area di Grand Bazaar Istanbul, yang merupakan salah satu pasar tertutup yang terbesar dan tertua di dunia dan dipelopori oleh Sultan Mehmed II pada tahun 1455, itu bisa mencapai tujuh lantai. Tanpa lift.
Beberapa orang lainnya juga sibuk. Sebagian mengambil gulungan kain dari sebuah truk dan membawanya ke toko-toko sebelum buka. Dead line-nya sebelum matahari terbit. Kepala mereka tertunduk dan lutut mereka ditekuk.
![]() |
"Saya setengah Hercules dan setengah Rambo," Yildiz, pria 40 tahun yang berotot itu, berkelakar.
Dia bilang mengangkat beban berat sudah menjadi makanan sehari-harinya. Dia mengklaim bisa memanggul hingga 200 kilogram sekaligus.
Yildiz adalah salah satu dari ratusan porter pria, yang berkumpul sebelum fajar di jantung kuno ibu kota komersial, Istanbul. Mereka adalah penerus tradisi sejak zaman Ottoman.
Memanggul bawaan berisi pakaian dan kain, mereka bergerak tertatih melintasi jalan-jalan sepi sebelum kota bergeliat. Kendati ada canda, beberapa di antaranya menggerutu tentang nasib mereka.
"Ini adalah pekerjaan terburuk, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan," kata porter lainnya, Osman. Dia sudah berkecimpung di pekerjaan itu selama 35 tahun.
Sejarawan kota Necdet Sakaoglu mencatat puncak tradisi porter Istanbul pada awal 1800-an, ketika Sultan Mahmud II memerintah apa yang masih dikenal sebagai Konstantinopel. Saat itu, porter menjadi bagian penting denyut kota Istanbul.
Sebagian besar porter atau kuli (disebut hamal dalam bahasa Turki) saat itu adalah orang Armenia, mencerminkan sejarah multikultural metropolis.
Saat ini, perdagangan terutama dilakukan oleh orang Kurdi dari provinsi Malatya dan Adiyaman, dari beragam etnis. Beberapa generasi keluarga telah menjalin hubungan dengan para pedagang Istanbul.
"Para kuli ini mampu mengembangkan kepercayaan dengan pemilik bisnis sebelum ada HP," kata Sakaoglu.
"Karena struktur kota, struktur perdagangan dan topografi, kota tidak dapat berfungsi tanpa kuli," dia menambahkan.
Porter biasanya bekerja dalam regu, di bawah kepemimpinan seorang kapten yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan pekerjaan dengan pedagang dan mendistribusikan gaji pada akhir shift.
![]() |
Yildiz mengatakan dia menghasilkan sekitar 200 hingga 300 lira (sekitar Rp 280 ribu sampai Rp 430 ribu), terkadang lebih saat hari sibuk.
Tetapi pekerjaan itu membutuhkan kode etik yang ketat, dengan masing-masing regu mengendalikan distrik tertentu dan tidak dapat menyeberang ke wilayah lain.
"Jika saya mencoba pergi ke sana, mereka tidak akan membiarkan saya, sebab itu wilayah mereka," kata porter Mehmet Toktas (49) sambil menunjuk ke bangunan di seberang jalan.
Selama hampir 30 tahun, enam hari seminggu, Toktas telah membawa beban menaiki tangga gedung tujuh lantai yang sama. Fisiknya pun berkembang laiknya seorang pegulat, tetapi sayangnya penghasilannya semakin berkurang seiring waktu.
Lebih dari seratus pedagang di gedung itu bergantung pada orang-orang seperti Toktas. Sebab, gerobak biasa di atas roda tidak banyak berguna di rumah-rumah tua tanpa lift dan hanya lorong-lorong sempit.
Tapi berdiri di bawah lampu neon pucat di lantai dasar, Toktas merasa seperti salah satu yang selamat terakhir dari perdagangan yang menghilang. Rupanya, kini pedagang lebih senang pindah ke lokasi yang lebih mudah diakses. Sementara itu, teman-temannya memilih pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan.
"Dulu ada empat atau lima dari kami di sini, tetapi yang lebih tua telah pergi dan sekarang saya sendirian. Saat itu, bayaran buat porter lebih baik dari sekarang," katanya.
"Saat ini, jumlah pekerjaan makin sedikit makanya kami tidak bisa menghasilkan banyak uang," dia menambahkan.
Halaman berikutnya >>> Porter Dihantui Cedera Lutut
Toktas mengatakan bisa menghasilkan hingga sekitar Rp 280 ribu per hari. Itu jumlah yang lumayan, tetapi tidak cukup untuk mencapai upah minimum resmi, sekitar Rp 5 juta per bulan, andai diselingi cuti.
Selain itu, ia tidak memiliki jaminan kesehatan atau jaminan sosial, yang berarti ia harus ekstra hati-hati untuk memastikan punggungnya bertahan sampai rencana pensiun pada usia 60 tahun.
"Setiap orang yang lebih tua dari saya telah dioperasi lutut atau punggungnya," kata Toktas.
![]() |
Di sekitar lingkungan, beberapa kuli terlihat seperti orang tua, rambut mereka perak dan kaki mereka setipis egrang.
Namun, meskipun tulang rawan rusak dan hernia mengancam, beberapa kuli bekerja sampai mereka berusia 70 tahun.
Baca juga: Grand Bazaar, Pusat Grosir ala Turki |
Bagi para pedagang kota tua, orang-orang ini adalah berkah.
"Mereka adalah mata rantai yang tidak bisa kita lepaskan," kata pedagang Kamil Beldek, sembari berdiri di belakang konter toko kecilnya.
"Bagi kami, apa yang mereka lakukan tampaknya sangat sulit, tetapi bagi mereka itu mudah," dia menambahkan.
Toktas tidak yakin dengan masa depan pekerjaan itu. Meskipun dia merasa berguna dan dibutuhkan, dia ragu banyak orang lain yang akan mengikuti langkahnya.
Lantai atas gedungnya sekarang kosong, dengan pedagang grosir lebih memilih untuk pindah ke lokasi yang lebih mudah untuk mengatur keluar masuk barang.
"Dalam 10 atau 15 tahun, pekerjaan ini tidak akan ada lagi," ujar Toktas.
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol