Susahnya Angkut Kopi Papua: Sewa Pesawat Rp 40 Jutaan, Cuaca, dan KKB

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Susahnya Angkut Kopi Papua: Sewa Pesawat Rp 40 Jutaan, Cuaca, dan KKB

Femi Diah - detikTravel
Selasa, 16 Nov 2021 05:01 WIB
Kopi Papua
Ilustrasi kopi Papua (Femi Diah/detikcom)
Timika -

Kendati berada di Timika, Mimika bukan berarti mencecap kopi Papua semudah menjentikkan jari. Justru kopi daerah lain lebih mudah dijumpai.

Stok kopi Amungme Gold di Timika kosong di hari-hari terakhir Pekan Olahraga Nasional (PON) XX/2021. Di stand yang ada di dua stadion milik Freeport Indonesia yang jadi venue PON, Stadion Atletik dan GOR Basket di Mimika Sport Complex, di area pameran di Pasar Lama, begitu pula di tempat produksinya, kantor Amungme Gold Coffee di basecamp PT Freeport Indonesia.

"Habis semua, kami mendapatkan pesanan luar biasa banyaknya, tetapi tidak bisa menambah stok biji kopi dengan mudah. Pengumpulan kopi tidak mudah, penerbangan sulit," kata Ronny Yawan, staf Community Economy Development PT Freeport Indonesia, dalam perbincangan dengan detikTravel beberapa waktu lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Buat traveler yang bersedia menunggu, kopi Amungme Gold bisa didapatkan esok hari. Itu pun dengan catatan siapa cepat dia dapat.

Rupanya, bukan cuma saat PON saja kopi Papua sulit didapatkan. Stok kopi Papua memang terbatas. Apalagi dari jenis Amungme, yang tumbuh di ketinggian 1.200 hingga 2.000 mdpl.

ADVERTISEMENT

"Kopi Amungme Gold ini diambil dari Pegunungan Jayawijaya yang aksesnya tidak mudah. Ada di ketinggian 1.200 hingga 2.000 mdpl," kata Ronny.

Ronnyy Yawan, staf Community Economy Development PT Freeport IndonesiaRonnyy Yawan, staf Community Economy Development PT Freeport Indonesia Foto: Femi Diah/detikcom

"Untuk mengambil kopi Amungme dari Kampung Aroanop, Tsinga, Hoya, dan Banti, Opitawak, Jila, dan Sinak, kami gunakan helikopter chopper. Itu milik PT Freeport dan kami subsidi biayanya. Kalai carter bisa sampai Rp 40 juta-Rp 50 juta," dia menambahkan.

Opsi lain bisa menggunakan pesawat komersil terjadwal, misalnya Susi Air dan Jhonlin Air Transport. Kapasitas angkutnya lebih besar bisa mencapai 600 kg, sedangkan chopper cuma 500 kg.

Tetapi, belakangan penerbangan juga tidak mudah. Sebab, muncul isu keamanan dengan adanya ancaman KKB (kelompok kriminal bersenjata) sehingga bandara terdekat buka tutup. Selain itu, penerbangan dengan pesawat kecil sangat tergantung cuaca.

"Kalau cuaca buruk, chopper enggak terbang. Delay-nya bukan jam, bisa dalam hitungan hari," kata Ronny.

Pengalaman serupa dialami oleh Rini S. Danudjaja, pemilik The Maoke Coffee House atau Rumah Kopi Maoke. Spesialnya, Rumah Kopi Maoke yang dibangun Rini pada 2020 itu cuma menyediakan beragam kopi khas Papua. Mulai dari Pegunungan Bintang Pegunungan Bintang (Abmisibil, Sabin, Kiwirok, Peneli), Paniai (Obano, Yagiyo, Muyetadi), Dogiyai (Moenamani, Modio), Puncak (Sinak), Lanny Jaya (Tiom), dan Tembagapura (Aronaop, Tsinga).

Kendati baru membuka Rumah Kopi Maoke tahun lalu, Rini sudah mendistribusikan biji kopi dalam bentuk kemasan jauh sebelumnya. Dimulai sejak 2017.

Rini bisa mendapatkan beragam biji kopi itu berkat hubungan baik dengan para pendeta di pelosok pegunungan. Dai mengenal mereka saat masih bertugas di proyek USAID milik Amerika Serikat (AS).

"Rata-rata kebun kopi Arabika di Papua ini ada di pegunungan yang aksesnya lumayan susah. Untuk bisa sampai ke kebun itu saja, contoh Pegunungan Bintang, Kiwirok, dari Sentani itu yang termudah, dengan sekali pesawat. Tetapi dari bandara pun harus menempuh perjalanan lagi dua sampai tiga jam jalan kaki," kata Rini.

Rini S. Danudjaja, pemilik Rumah Kopi TimikaRini S. Danudjaja, pemilik Rumah Kopi Timika Foto: dok. pribadi

"Ada beberapa wilayah yang harus ganti pesawat outer, jadi dua kali pesawat, misalnya ke Oksibil, ke Amisibil. Dan, pesawat itu bukan seperti dari Jakarta yang on time, tetapi sangat dipengaruhi cuaca, serba enggak tentu," dia menjelaskan.

"Kopi Papua itu susah didapatkan bukan karena apa-apa, alasannya karena akses," dia menegaskan.

Makanya, di kedai-kedai kopi yang mulai bermunculan di Papua, justru tidak mudah mendapatkan kopi Papua.

"Kalau kopi dari daerah lain malah lebih mudah, misal dari Bali atau Toraja," kata perempuan 46 tahun itu.

Halaman berikutnya >>> Kopi Papua Harus Transit di Bandara Sentani, Jayapura

Pengalaman serupa dirasakan perintis kedai kopi di Timika, Musawir. Pria asal Makassar itu mendirikan kedai kopi Black Coffee pada 2017 bersama rekannya Hery, setelah dia di-PHK PT Freeport Indonesia.

Musawir bilang mendapatkan kopi Papua tidak mudah. Sebab, selain Amungme, kopi-kopi Papua lain harus melewati Bandara Sentani di Jayapura lebih dulu. Sebab, cuma dari Bandara Sentani-lah pesawat perintis menuju daerah terpencil. Barulah, dari Bandara Sentani, kopi-kopi itu diterbangkan ke Timika.

"Selain itu, kami harus memiliki kawan yang tahu tempat-tempat petani kopi dan bisa berkomunikasi langsung dengan petani kopi. Sebab, kebun kopi cuma dimiliki petani lokal yang merupakan tinggalan misionaris Belanda," kata Musawir.

Misnawir pemilik kedai kopi Black Coffee di TimikaMusawir pemilik kedai kopi Black Coffee di Timika (Femi Diah/detikcom)

Kopi-kopi itupun dikirim masih berupa gabah. Risiko biji kopi rusak dan adanya penyusutan setelah proses penjemuran dan roasting menjadi tanggungan Musawir.

Bukan cuma kopi, peralatan roasting hingga menyeduh kopi juga bukan perkara mudah untuk didapatkan. "Semua beli online, dengan ongkos kirim yang lumayan hehehe," kata Musawir.

Kini, Musawir bisa menepuk dada. Sejumlah kedai kopi mengikuti jejaknya untuk menyediakan kopi-kopi Papua.

Pemain kopi lain di Timika, Maximus Tipagau, mengembangkan Dingiso Coffee. Selain mendistribusikan kopi kemasan, Maxi yang juga direktur Adventure Carstensz dan ketua Yayasan Somatua, itu mendirikan kedai kopi Kafe Kamoro. Lokasinya di seberang Hotel Mozza.

Maximus Tipagau, pemilik Kafe Kamoro di TimikaMaximus Tipagau, pemilik Kafe Kamoro di Timika Foto: Femi Diah/detikcom

"Kopi Papua menjadi bagian dari promosi Papua, khususnya Mimika. Ini terkait erat dengan wisata yang menjadi potensi kawasan ini. Makanya, sesulit apapun kopi didapatkan, kopi Papua harus sampai ke tangan konsumen," kata Maxi.

Kendati serba sulit, Ronny, Rini, Musawir, dan Maxi bertekad untuk secara konsisten menyediakan kopi khas Papua. Mereka optimistis kopi Papua diterima pecinta kopi di tanah Air, bahkan dunia.


Hide Ads